Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah dan Kenangan Masa Kecil Kris Biantoro

Kompas.com - 16/08/2009, 02:51 WIB

Frans Sartono & Ilham Khoiri

Kris Biantoro membangun rumahnya dari kenangan masa kecil dan angan-angan kala muda. Penyanyi dan pemandu acara kondang era 1970 hingga awal 2000-an itu kini menikmati merdekanya hidup di rumah teduh, hijau ”royo-royo” yang menghadap situ di kawasan Cibubur, Jakarta Timur.

Merdeka...! Begitulah Kris Biantoro (71) menyambut tamunya. Heroik, kesannya. Dan itu memang semangatnya. Dalam bentuk lain semangat itu tampak dari sang saka Merah Putih dari bahan kayu yang terpasang permanen di atas pintu masuk rumah.

Ia mengajak kami duduk di teras rumah di kompleks Bukit Permai, Cibubur. Di depan teras ada dua arca gopala membawa gada seperti menjaga pintu masuk. Di depan arca ada kolam berisi teratai.

Lelaki yang lahir di kaki Gunung Merbabu, Jawa Tengah, 17 Maret 1938, itu bercerita tentang masa kecil yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya, termasuk dalam membangun rumah. ”Semua yang terjadi di sini (rumah) ini merupakan getaran dari masa kecil saya yang sangat berbekas,” katanya.

Pilihan model rumah joglo semar pinangku atau semar yang dipangku itu dipengaruhi memori visual semasa Kris duduk di sekolah rakyat atau sekolah dasar era 1940-an di Magelang, Jawa Tengah. Saat itu murid diajar bercerita menguraikan pikiran dari melihat gambar di dinding. Salah satu gambar yang mengesan di benaknya adalah gambar rumah joglo.

”Saya sangat tertarik pada gambar rumah joglo dengan pot-pot tanaman yang serba hijau dan teduh. Ternyata tanpa sadar, gambar itu terbawa terus sampai saya akan membangun rumah ini,” tambah Kris.

Dan rumah joglo yang ijo royo- royo, hijau teduh, itulah yang ditempati pasangan Kris Biantoro-Maria Nguyen Kim Dung. Dua anaknya, Invianto dan Ceasefiarto, telah berkeluarga dan tinggal tak jauh dari rumah Kris. Di antara rerimbunan pohon terdapat pohon kepel dan sawo kecik. Kedua pohon itu bagi Kris mempunyai makna filosofis yang tersirat dari nama kepel dan sawo kecil. ”Dulu seorang pangeran harus ange(pel) anggone gawe be(cik)—berniat sungguh-sungguh untuk berbuat baik, mengayomi rakyat,” kata Kris.

”Itu yang tersirat. Yang jelas, sawo kecik itu ulet dan menaungi, dan kepel itu katanya menjarangkan kelahiran,” ujar Kris.

Suasana lingkungan semakin teduh dengan rimbun pepohonan di tepian danau. Sampai akhir era 1980-an di sekitar danau itu gersang tanpa tanaman. Kris dan warga setempat merintis menanami lingkungan danau dengan tanaman, seperti sengon, sukun, sampai akasia. Tepi danau menghijau dan pada tahun 2001 ia mendapat penghargaan Kalpataru tingkat DKI Jakarta untuk kategori penyelamat lingkungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com