Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cimahi, Kota Wisata Sejarah Militer

Kompas.com - 30/12/2009, 16:01 WIB

CIMAHI, sebuah kota administratif dengan luas sekitar 4.000 hektar di wilayah Kabupaten Bandung Utara, seringkali terlupakan dalam sejarah. Sejarah kota ini  tak banyak tercatat, padahal kota ini punya sejarah penting bukan hanya karena Cimahi dilalui jalur "Daendels" Anyer-Panarukan tapi juga bagi dunia militer di masa kolonial.

Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kenangan atas kota-kota, khususnya kota di tanah Priangan, yang dilalui Jalan Raya Pos begini, "Barang tiga kilometer  ke tenggara, Jalan Raya Pos sampai ke Cimahi. Sebelum 1913, tempat  ini bernama Cikolokot (tapi di catatan sejarah lain tertulis Cilokotot –Red). Perubahan nama terjadi setelah semasa pemerintahan  Gubernur Jenderal  van Heutsz, Bandung ditunjuk  jadi tempat pemusatan tentara Hindia Belanda dan di Cikolokot dibangun tangsi besar KNIL dengan RS militer yang juga besar. Sejak itu Cimahi jadi kota militer. Tak  ada suatu kenangan padaku tentang Cimahi tapi sedikit tentang Padalarang."

Demikian sedikit kenangan Pramoedya atas Cimahi. Catatan sejarah lainnya tertulis dalam situs resmi kota itu. Cimahi mulai dikenal pada tahun 1811 ketika Gubernur Jendral Herman Willem Daendels membuat jalan Anyer - Panarukan.  Tuan Besar Guntur (Daendels) kemudian membuat  pos penjagaan (loji) di lokasi yang kini menjadi Alun-alun Cimahi.

Antara tahun 1874 - 1893, Belanda membangun  jalur kereta api Bandung-Cianjur dan bersamaan dengan itu Stasiun Cimahi pun ikut berdiri. Stasiun ini masih ada di sana. Selain  membangun jalan kereta api itu, pada 1886, pusat pendidikan militer bersama fasilitas lain seperti rumah sakit, rumah tahanan militer juga disiapkan.
 
Rumah Sakit Dustira, dari tahun 1887, kini masih berdiri gagah, demikian pula rumah tahanan militer Poncol yang di dinding bagian atas pintu masuk tertulis angka 1886. Kini dengan tambahan 'kawasan terlarang". Saat saya, di bawah rintik hujan akhir pekan lalu, meminta izin mengambil gambar  bagian muka, izin tak diberikan, "Harus ada izin dari pusat (Jakarta). Kita sudah sering kedatangan orang Belanda minta izin untuk ambil gambar, tetap enggak bisa," tandas soldadu yang menjaga rumah tahanan itu.         
      
Sayang sekali. Kejadian seperti itu tak hanya terjadi di Cimahi. Di semua daerah di mana bangunan bersejarah dikuasai militer, maka warga tersendat mendapatkan sejarah dan keberadaan kota mereka sendiri. Segala aturan, tata cara, prosedur birokrasi nan panjang harus dilalui hanya untuk mengambil gambar sebuah gedung bersejarah yang bukan hanya milik militer tapi milik seluruh kota, bahkan bangsa ini.

Di saat kota-kota bersejarah, kota-kota di Indonesia sadar akan kekayaan pusaka (heritage) mereka, kesulitan bahkan hambatan akan datang dari urusan kepemilikan bangunan. Alhasil, pemeliharaan termasuk pemugaran bangunan yang potensial jadi atraksi wisata sejarah kota terkait, sulit dipantau. Lihat saja bekas tembok kota Batavia sisi Timur beserta gudang rempah di sana. Perhatikan, dari waktu ke waktu semua terkikis makin habis tak berbekas.

Kembali ke Cimahi, menjelajah kota ini mata saya bagaikan enggan berkedip karena hampir di tiap sudut, bangunan tua, bangunan bersejarah berserakan. Termasuk Gereja St Ignatius, kerkhof (pemakaman) Leuwigajah di sini terbentang pula kuburan Belanda - Ereveld Leuwigajah).
   
Intinya, sebagai kota militer, Cimahi berpotensi besar menjual kemiliteran kota ini. Hanya saja, tentu, sebagai kota wisata, harus ada kompromi pada urusan keramahtamahan,  hospitality dari seluruh pihak di Cimahi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com