Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Angkie Yudistia, Mendengar dengan Hati

Kompas.com - 25/10/2011, 19:43 WIB

KOMPAS.com - Angkie Yudistia, gadis tunarungu itu, pernah meniti karier sebagai staf humas di sejumlah perusahaan. Namun, panggilan jiwanya membawanya lebih dekat pada permasalahan kaum difabel.

”Bekerja di perusahaan memang passion saya. Dari kecil saya memimpikan jadi wanita karier yang bekerja di perusahaan besar, tetapi jiwa saya yang sesungguhnya adalah sosial,” kata Angkie (24).

Gadis cantik ini begitu semangat bercerita tentang kegiatannya, terutama di bidang sosial. ”Kata mama, saya memang cerewet sejak kecil. Jadi, memang cocok dengan pekerjaan di bidang komunikasi,” kata Angkie.

Meski tunarungu, tak ada hambatan bagi Angkie untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Ini karena Angkie kehilangan pendengaran setelah bisa bicara. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie secara perlahan berkurang. Dia tak merespons saat dipanggil dan kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah.

”Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah dari obat yang saya minum ketika sakit atau ada hal lain yang jadi penyebabnya,” ujar Angkie yang harus menggunakan alat bantu dengar sekaligus membaca gerak bibir untuk memahami pembicaraan lawan bicaranya.

Meski kondisinya berubah, Angkie tak diperlakukan secara berbeda oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah. Angkie menyelesaikan SD hingga SMA di sekolah umum. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai merasakan tantangan sebagai anak yang ”berbeda”. Ledekan dari teman-teman bukan hal yang asing baginya. Belum lagi saat kena marah guru karena dia kesulitan mendengar.

Angkie juga selalu berhadapan dengan lingkungan baru karena harus berpindah-pindah kota mengikuti perjalanan dinas ayahnya yang bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Lahir di Medan, Angkie masuk taman kanak-kanak di Ambon. Setelah itu, dia harus menyelesaikan SD di tiga kota, yaitu Ternate, Bengkulu, dan Bogor. Baru setelah itu dia menamatkan SMP dan SMA di Bogor.

Karena merasa kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, Angkie rajin mengikuti les privat. Ayahnya juga banyak membelikan buku sehingga Angkie punya hobi membaca.

Dilema dihadapinya ketika lulus SMA. Dokter memberinya saran untuk tidak melanjutkan kuliah karena stres akan memperparah pendengarannya. Namun, Angkie menolak saran itu. ”Memilih tidak kuliah tetap saja jadi stres,” katanya.

Maka, mendaftarlah Angkie di Jurusan Periklanan London School of Public Relations, Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,5. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master di bidang komunikasi pemasaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com