Oleh: Sari Oktafiana
kompasiana: sarioktafiana
Beberapa hari lalu, saya menonton premiere film di bioskop XXI Yogyakarta. Setelah melihat tayangan perdananya sekaligus mengikuti diskusi film yang dihadiri oleh Ahmad Tohari, Nyoman Oka Antara dan Landung Simatupang sebagai aktor, serta Salman Aristo sebagai salah satu penulis skenario.
Saya pribadi tertarik melihat film “Sang Penari” karena memang mengagumi dan telah membaca trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Bagi saya novel ini luar biasa dan layak dibaca oleh banyak orang. Novel ini kental dengan nuansa antropologi dan sosiologi dengan seting kekacauan politik Indonesia khususnya daerah pedesaan pada tahun 1965. Mengupas kemiskinan, rendahnya literasi, hingga eksploitasi manusia dan tragedi kemanusiaan.
Satu ciri khas dari semua karya Ahmad Tohari adalah feature yang bertutur dengan sangat natural. Kental dengan nuansa desa dan budaya. Sehingga setiap kali menatap hamparan sawah, hutan desa yang kering, rumah berdinding bambu, mendengarkan gesekan dedaunan karena angin, daun-daun kering yang berjatuhan—selalu mengingatkan novel Ahmad Tohari khususnya Ronggeng Dukuh Paruk.
Ketika menulis email registrasi untuk menonton premiere film “Sang Penari”, saya penasaran seperti apakah film itu nanti mevisualisasikan teks dan konteks novel Ronggeng Dukuh Paruk? Bagaimana sosok Srinthil, perempuan cantik khas Jawa yang tentunya tidak berhidung mancung, berkulit sawo matang, dan kenes-nya sebagai penari ronggeng yang harus kalah oleh dentuman materi daripada mengikuti suara cinta dan keinginan untuk menjadi perempuan somah. Bagaimanakah gagahnya sosok Rasus, laki-laki dengan karakter kebimbangan yang telah mengambil hati berikut cinta Srinthil.
Bagi saya, sosok Srinthil diperankan dengan amat baik oleh Prisia Nasution, walaupun untuk ukuran perempuan jawa kulitnya kurang sawo matang. Sosok Rasus yang diperankan oleh Nyoman Oka sudah cukup terwakili. Serta peran-peran aktor yang lain yang menurut saya sudah bagus castingnya, feel-nya dapat!
Menvisualisasikan teks dan konteks sebuah novel menjadi film memang bukan hal gampang. Dunia teks memiliki ruang kontemplatif dan dunia film lebih memiliki ruang rekreatif. Inilah yang saya rasa kurang dari film tersebut. Saya menyadari tidak gampang mengadaptasi novel trilogi yang begitu kaya konteks menjadi film dengan durasi 2 jam.
Film terindah yang mampu mevisualisasikan feature konteks yang pernah saya tonton adalah Forrest Gump. Dimana saya sudah membaca novel berikut melihat filmnya. Filmnya membuat titik klimaks akan sebuah kepuasan seorang penikmat novel dan film.
Sumber: http://kom.ps/9nL8
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.