Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Sutradara Indonesia Memilih Musik untuk Filmnya?

Kompas.com - 05/05/2013, 19:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Film sudah lama menjadi salah satu kaca pajang efektif untuk musik. Tetapi, bagaimana sutradara Indonesia memilih musik untuk filmnya?

Sutradara Sammaria Simanjuntak mengaku sangat "patuh" kepada mood filmnya sebelum memilih musik, termasuk lagu tema, untuk filmnya. "Yang penting harus sesuai mood filmnya. Tidak boleh lebih menonjol apalagi bertentangan," katanya saat diwawancara untuk Program Info Musika BBC, yang disarkan pada Jumat petang minggu pertama Mei 2013.

Dalam Demi Ucok, film komedi ber-setting keluarga Batak, Sammaria menempatkan musik dangdut ala Medan sampai lagu gereja berbahasa Batak. "Sejak awal aku merasa (lagu dangdut) 'Anak Medan' itu memang harus masuk film ini," katanya lagi, sambil tertawa.

Lagu lain yang juga kental bernuansa Batak adalah "Dung Sonang Rohaku", lagu gereja yang disadur dari bahasa Inggris dan menjadi materi pujian umum di banyak gereja Huria Kristen Batak Protestan. "Kebetulan Geraldine Sianipar, yang juga pemain (utama) Demi Ucok, sedang bikin album dari lagu-lagu gereja itu. Waktu dengar, wah ini cocok banget nih sama filmnya," tambah sutradara berambut cepak ini.

Cocok merupakan kata yang juga dipilih oleh sutradara Guntur Soeharjanto saat memilih "Andai Aku Bisa" menjadi lagu tema film Tampan Tailor, yang baru diputar di gedung-gedung bioskop Ibu Kota pada April 2013. "Biasa, kalau (proses pembuatan) filmnya jalan, aku cari-cari yang cocok. Aku selalu pilih yang lirik maupun mood lagunya itu sesuai," kata sutradara yang sudah membesut tujuh film bioskop ini.

Saat mendengar "Andai Aku bisa" versi almarhum Chrisye, Guntur mengaku tergugah oleh kekuatan liriknya. "Diskusi sama produser, kita sepakat mau cari penyanyi baru. Ternyata, Ahmad Dhani mau nyanyiin. Kebetulan memang lagu itu hasil karya Dhani dan Bebi Romeo," terangnya.

Perkara penonton atau pendengar merasa versi Chrisye lebih bagus, Guntur tak memasalahkannya. "Namanya saja selera, kan subyektif sekali," ujarnya.

Minat pribadi
Kalau sutradara harus selalu menyesuaikan pilihan musik dengan arah film, apakah berarti selera pribadinya tak memengaruhi musik filmnya? Tidak juga.

Dinna Jasanti, yang baru menyutradarai Laura dan Marsha, mengaku lagu "Summertime" dalam film itu menegaskan kesukaannya kepada musik folk. "Saya tidak akan pakai kalau tidak suka," jawab sutradara yang lebih kerap jadi produser ini.

Laura dan Marsha, yang merupakan film perjalanan atau biasa disebut road movie, menurut Dinna sangat pas memakai latar musik folk. "Apalagi karena setting-nya Eropa, dengan musisi yang juga punya bakat luar biasa," puji Dinna kepada pencipta dan penampil "Summertime", pemusik muda Antonius Mashdiarto Wiryanto.

Bisa jadi film Dinna itu akan jadi gerbang Diar, nama panggung Antonius, untuk dikenal publik, khususnya di Indonesia. Genrenya yang unik dan tak biasa mengingatkannya kepada Sandhy Sondoro--sama-sama asal Indonesia, belajar ke Jerman, namun kemudian lebih ngetop sebagai pemusik.

Film dilupakan
Bagaimana kalau "Summertime" atau Diar menjadi lebih terkenal daripada Laura dan Marsha?

"Kan memang film maupun soundtrack harus win-win position. Kalau Diar terkenal, saya malah makin senang," kata Dinna bersemangat.

Lagu tema yang populer umumnya dipandang sebagai salah satu resep terbaik menjual film. Ingat waktu semua radio berlomba memutar "My Heart Will Go On" (Celine Dion), sementara orang antri menonton Titanic (1997)? Atau ledakan film Pretty Woman diikuti single Roxette, "It Must Have Been Love (1990). Meskipun, pada kenyataannya, lagu tema film umumnya memiliki siklus hidup lebih lama ketimbang filmnya.

Ini misalnya terjadi pada lagu-lagu Bee Gees yang abadi--"Stayin' Alive", "How Deep Is Your Love", dan "Night Fever"--yang terus dinyanyiulangkan, sementara sedikit sekali orang sekarang yang tahu gambaran cerita film Saturday Night Fever (1977).

Sedikit lebih klasik adalah "Smoke Gets in Your Eyes", dari film American Graffiti (1973). Versi jazz lagu tersebut jadi standar penyanyi berbagai kafe. Tetapi, entah, apakah ada yang masih ingat filmnya.

Saat Goo Goo Dolls tiba-tiba sangat terkenal di Indonesia pada 1998 dengan single "Iris", hanya sedikit orang tahu kalau lagu itu sebenarnya dikemas dalam album soundtrack City of Angels (yang dipintangi oleh Meg Ryan dan Nicolas Cage).

Dan, "I Will Always Love You" patut dikenang sebagai soundtrack terlaris sepanjang masa. Lagu itu dikenang sebagai adi karya abadi Whitney Houston selaku vokalis, meski sebenarnya lagu tersebut merupakan teman adegan dalam film yang dibintanginya bersama Kevin Costner, The Bodyguard (1992).

Di Indonesia, gelar album berisi lagu-lagu tema terbaik sampai kini masih selalu disematkan pada album Badai Pasti Berlalu (1977). Majalah Rolling Stones edisi Indonesia menyebutnya sebagai album terbaik sepanjang masa. Tiga lagunya, "Badai Pasti Berlalu", 'Merpati Putih", dan "Merepih Alam" sebagai lagu-lagu terbaik sepanjang masa. (Dewi Safitri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com