Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertaruh Nyawa di Everest

Kompas.com - 24/04/2016, 17:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Phurba Tashi Sherpa adalah salah seorang sherpa, pemandu sekaligus pendaki profesional, yang sangat berpengalaman.

Selain sangat bisa diandalkan, Phurba telah sukses berkali-kali mengantar banyak pendaki dari berbagai penjuru dunia, menyusuri lereng-lereng terjal hingga ke puncak-puncak tertinggi Gunung Everest, Nepal.

Apabila tidak ada kejadian besar, Phurba pada 2014 seharusnya bisa mendaki puncak Everest untuk yang ke-22 kali.

Sebagai sherpa, dia sukses mencapai puncak Everest pertama kali pada 1999.

Ekspedisi pendakian, yang sedianya diikuti Phurba pada 2014 itu gagal dan dibatalkan pasca tragedi terbesar runtuhnya 14.000 ton balok es (ice avalanche) ke rute pendakian.

Dalam kejadian itu, 16 sherpa tewas. Tragedi itu memicu unjuk rasa dan aksi mogok di kalangan sherpa.

Mereka memprotes pemerintahan Nepal yang korup dan dinilai tak pernah peduli terhadap nasib sherpa.

Tanpa keberadaan sherpa, ekspedisi pendakian mustahil dilakukan. Hanya mereka yang menguasai dan mampu bertahan di kondisi alam yang sangat kejam seperti itu.

Industri pariwisata pendakian Gunung Everest diketahui berkontribusi besar pada pemasukan negara.

Nilainya per tahun bisa mencapai 360 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 4,76 triliun.

Lebih lanjut, Phurba memang menjadi tokoh utama dalam film dokumenter berjudul Sherpa, karya sutradara Jennifer Peedom, yang akan diputar perdana pada 24 April 2016 pukul 20.00 di Discovery Channel.

Bersama sinematografer Renan Ozturk, proses pengambilan gambar dilakukan Peedom beserta timnya selama tujuh pekan.

Tragedi longsoran salju dan bongkahan es besar pada 2014 itu memang terjadi ketika proses pengambilan gambar berlangsung.

Pada awalnya, Peedom tertarik mendokumentasikan kisah perjalanan hidup para sherpa pasca insiden percekcokan, yang terjadi pada 2013, antara pendaki Eropa dan para sherpa di ketinggian.

Ketika itu, para sherpa marah lantaran merasa tersinggung atas perilaku dan kata-kata kasar dari si pendaki kulit putih.

Kemarahan beberapa sherpa itu terekam kamera dan kemudian menyebar menjadi berita besar ke seluruh dunia.

Diakui, terkadang keberadaan para sherpa tidak dihargai oleh beberapa pendaki, yang merasa telah membayar mahal biaya ekspedisi sehingga layak dilayani sesuai keinginan mereka.

Dalam konteks itu, Peedom memutuskan ingin membuat film dokumenter, yang bisa menggambarkan kehidupan sesungguhnya dari para sherpa.

"Tujuan utama saya memberi kesempatan (para sherpa) menyuarakan versi mereka. Juga agar peran penting mereka diakui dunia. Hal-hal seperti itu kerap dihilangkan di setiap film tentang Everest," tulis Peedom menjawab pertanyaan Kompas.

Keberadaan sherpa memang masih kerap diabaikan.

Bahkan, ketika industri film Hollywood tahun 2015 membuat film Everest berlatar kejadian nyata pada 1996, para sherpa kepada Peedom mempertanyakan mengapa tak satu pun wajah sherpa muncul di film itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com