Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Cerpen "Kompas" 2017, Merawat Fiksi Koran

Kompas.com - 14/06/2017, 19:53 WIB

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kelas Cerpen Kompas kembali diselenggarakan dalam rangka memperingati ulang tahun harian Kompas yang ke-52.

Kegiatan yang telah memasuki tahun kelima ini diselenggerakan Kompas sebagai komitmen dalam merawat tradisi fiksi koran, khususnya cerita pendek atau cerpen. Melalui Kelas Cerpen Kompas ini diharapkan akan tumbuh cerpenis-cerpenis baru yang menghidupi sastra Indonesia.

Kelas Cerpen Kompas menjadi satu rangkaian dengan acara tahunan Penganugerahan Cerpen Pilihan Kompas yang telah berlangsung sejak tahun 1992.

Kegiatan tersebut berlangsung mulai hari ini Rabu (14/6/2017) hingga Kamis petang (15/6/2017) yang dilanjutkan dengan ngabuburit bersama cerpenis Kompas dan Jamuan Malam Cerpen Kompas 2017. Dalam acara jamuan tersebut, cerpen terbaik 2016 akan diumumkan.

Peserta Kelas Cerpen Kompas tahun ini datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Batam, Banjarbaru di Kalimantan Selatan, Tulungagung di Jawa Timur, Bandung Jawa Barat, juga wilayah Jabodetabek.

Sebelumnya, para peminat diwajibkan mendaftar dan mengirimkan karya cerpen masing-masing. Dari semua karya yang masuk itu kemudian dipilih 15 cerpen oleh editor seni Kompas Minggu. Penulis dari 15 cerpen yang lolos kurasi itu lah yang kemudian dapat mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017.

Para peserta kali ini rentang usianya cukup lebar, mulai dari 57 tahun hingga 15 tahun, sembilan orang laki-laki dan enam orang perempuan.

Setiap peserta mendapat kesempatan mengonsultasikan karyanya dengan para pemberi materi yaitu editor seni Kompas Minggu Putu Fajar Arcana, penulis Linda Christanty, dan penyair Joko Pinurbo.


Mengelola gagasan

Putu Fajar Arcana mengungkapkan, salah satu yang menjadi isu penting dalam Kelas Cerpen Kompas adalah persoalan mengelola gagasan menjadi cerita. Sebenarnya hal itu adalah persoalan mendasar dalam kepenulisan.

Gagasan menjadi landasan penulisan segala bentuk seperti penulisan opini, esai, berita, hingga karya fiksi.

Selain itu, dasar dari tulisan fiksi bagaimanapun juga menyangkut data dan fakta. Ini bisa misalnya berupa fenomena, peristiwa, ataupun mitos. Dari materi-materi ini, bagaimana cerpenis mengelola data dan fakta hadir sebagai karya baru berupa cerpen yang menyimpan gagasan.

“Öleh karena itu, cerpenis butuh pengetahuan dasar tentang estetika, dasar-dasar artistik. Misalnya dia paham soal plot, penokohan karakter, peristiwa, konflik, termasuk penguasaan bahasa. Dua hal itu, gagasan dan bahasa yang kerap lemah. Penulis baru kadang menyepelekan bahasa. Bagaimana dia membuat paragraf saja kita bisa tahu penulis lama atau baru,” kata Can, panggilan akrab Putu Fajar Arcana.

Dalam sesi konsultasi dengan pemberi materi, para peserta biasanya mengungkapkan permasalahan mereka dalam menggarap cerita. Hal yang dikeluhkan biasanya soal “kehabisan napas” di tengah ceirta, tersesat di tengah jalan dalam proses pengembangan cerita, sehingga kehilangan fokus.

Sesuatu yang sebenarnya cukup menjadi keterangan sampiran, penulis bisa terhanyut di dalamnya. Satu hal lagi yang juga biasanya menjadi masalah adalah penutup cerita atau ending.

“Banyak pengarang tidak percaya diri bahwa ceritanya sudah cukup. Ada yang menutupnya dengan seperti berceramah, memberi penjelasan pesan moral, seperti mengajari pembaca, dan semacamnya. Padahal pesan-pesan seperti itu tidak perlu dijelaskan secara harafiah. Namun biarkan menjadi tafsir yang menjadi wilayahnya pembaca,” ujar Can.

Menurut Can, satu hal yang harus diingat pengarang, sebuah karya sastra punya karateristik prismatik atau multitafsir. Dan berbagai tafsir itu menjadi hak dari pembaca. Pengarang sebaiknya tidak mengunci karyanya dalam tafsir tunggal.

Halaman berikutnya: Peserta termuda 

 

Markom Harian Kompas Sesi konsultasi bersama wartawan Kompas yang juga General Manager Bentara Budaya Jakarta, Frans Sartono, dengan salah satu peserta Kelas Cerpen Kompas. Kelas Cerpen Kompas menjadi satu rangkaian dengan acara tahunan Penganugerahan Cerpen Pilihan Kompas yang telah berlangsung sejak tahun 1992. Kegiatan tersebut berlangsung mulai hari ini Rabu (14/6/2017) hingga Kamis petang (15/6/2017) yang dilanjutkan dengan ngabuburit bersama cerpenis Kompas dan Jamuan Malam Cerpen Kompas 2017.

Peserta termuda

Dari karya-karya cerpen yang masuk dan terkurasi juga memunculkan satu ciri yang sebenarnya merupakan pola lama yakni pengarang perempuan cenderung menjadi juru bicara dari kaumnya.

Perempuan bercerita tentang perempuan. Sementara, pengarang laki-laki juga punya preferensi memegang karakter kemaskulinannya.

Dari karya yang masuk, jarang ditemui karya tentang perempuan yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Tema yang dibawakan pengarang perempuan juga cenderung masih berisi gugatan akan kesetaraan.

Peserta Rika (24) dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengamini kecenderungan itu. Cerpen yang ditulisnya untuk dikirimkan mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017 juga bercerita tentang kisah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Rika sendiri mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017 dengan sokongan dana dari Pemerintah Kota Banjarbaru yang dipimpin Walikota Banjarbaru Nadjmi Adhani. “Pemkot kami sangat mendukung untuk kegiatan kesenian,” kata Rika.

Peserta termuda yang lolos kali ini adalah Meutia Swarna Maharani (15), siswa Kelas 1 SMAN Banjarbaru. Meutia atau panggilannya Ara sebelumnya sudah sangat produktif menulis fiksi.

Cerpen-cerpennya beberapa kali dimuat di media cetak lokal seperti Banjarmasin Post dan Media Kalimantan. Puisi karyanya juga pernah dimuat di Majalah Bobo.

Ara mengaku senang menulis fiksi berkat kebiasaan ayahnya yang selalu membacakan cerita kepadanya setiap menjelang tidur. Salah satu novel yang dibacakan ayahnya adalah novel dongeng Narnia.

Ketika berusia 4 tahun, Ara kerap minta ayahnya mengetikkan cerita yang dikarangnya di komputer berhubung ia sendiri belum bisa baca tulis. “Misalnya cerita saya dimarahi orangtua karena menonton televisi terlalu dekat atau pas saya lihat kupu-kupu,” kenang Ara.

Di usia lima tahun, Ara kecil sudah bisa membaca dan salah satu novel yang digemarinya adalah Totto Chan karya tetsuko Kuroyanagi. Di usia belia itu dia mencoba-coba menulis cerita karangannya di komputer dengan satu jari. Ceritanya hal-hal yang sederhana dan singkat.

Ara, yang menyenangi penulis Dee Lestari, mengaku di sekolahnya sejak SD tidak dikenalkan karya sastra. Dirinya mengenal bacaan-bacaan sastra berkat didikan dari orangtuanya sendiri.

“Dulu waktu SD kalau bawa novel ke sekolah ditegur, dianggap bisa mengganggu pelajaran. Bukunya juga disita. Dulu kata guru kalau kebanyakan baca novel bisa bikin kita enggak bisa matematika,” ujar Ara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com