Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Strategi Kebudayaan di Museum dan Festival Seni, dari Trump hingga Sheikha

Kompas.com - 10/07/2017, 17:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

"I do not believe that civilizations have to die because civilization is not an organism. It is a product of wills” (Arnold J Toynbee).

Sejarawan cum filsuf Inggris, Toynbee, memang menyatakan bahwa peradaban tak pernah binasa. Sekarat bisa jadi. Tapi, peradaban tetap hidup secara laten.

Sebab sejatinya ia adalah eros (energi hidup) yang menjadi cawan dari minuman anggur bernama: kebudayaan.

Kebudayaan seperti kita tahu, adalah sekumpulan totalitas manusia merefleksikan dirinya dengan realitas dan lingkungannya, mengada membentuk komunitas-komunitas adab.

Dari sana, nalar dan intuisi abstraktif menghadirkan sistem dan nilai sosial, yang dengannya lembaga kebudayaan, politik dan ekonomi mencipta objek-objek (artefak) atau ilmu pengetahuan yang bermaslahat bagi umat manusia.

Tapi pada pertengahan Maret 2017 lalu, nampaknya konsep di atas disangsikan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Ia dengan sengaja mencanangkan “membunuh” dua buah lembaga kebudayaan penting yang memberi sumbangsih bagi kesenian dan kemanusiaan di negaranya sendiri.

Baca juga: Memahami Islam yang Anggun Melalui Seni

Lembaga federal independen itu bernama National Endowments for the Arts (NEA) dan National Endowments for the Humanities (NEH) yang disahkan oleh Undang-Undang Kongres Amerika Serikat sejak 1965.

NEA adalah tumpuan bagi seniman, desainer, peneliti-akademisi, pekerja kreatif, ahli museum, insan perfilman, institusi pendidikan, dan organiser festival budaya raksasa di Amerika Serikat.

Mesin politik pemerintahan Trump memperlihatkan wajah kejinya, yang berakibat pemerintahannya harus menghadapi protes seluruh komunitas masyarakat seni dan ekonomi kreatif di AS.

Menurut informasi yang dilansir New York Times, pada pertengahan Maret lalu White House merilis draf yang menjadi hit-list lembaga-lembaga yang dianggap memberatkan anggaran nasional.

Trump seharusnya mengaca pada sekutunya di Timur Tengah, selain Arab Saudi, yakni salah satu negara tetangga Uni Emirat Arab (UEA), Qatar. Pusat pemerintahan Qatar giat menyelesaikan serial pembangunan museum-museumnya pada 2017 ini dibawah Qatar Museum Authority di Doha, semacam lembaga Smithsonian Institution di AS.

Kurator dan kritikus seni penting dunia Hans-Ulrich Obrist bahkan berujar, “Doha’s museum takes a different approach to museums from that of Abu Dhabi, aspiring to a new model that does not copy existing models or replicate western museums, but acknowledges local difference”.

Maka dapat dikatakan, Qatar sebenarnya membangun sebuah politik kebudayaan yang kokoh. Mengabarkan pada dunia, siapa mereka dan akan kemana peradaban dan budaya bangsa Arab menuju. 

Sheikha Al Mayassa bint Hamad bin Khalifa Al Thani, puteri dari Emir Qatar pada 2014, di usianya yang baru 31 tahun malahan terpilih di majalah Forbes sebagai 100 wanita penting dunia dengan julukan the undisputed queen of the art world.

Sheikha Mayassa adalah kolektor seni papan atas dunia dan pendukung aktivitas budaya Arab untuk negerinya. Ia memimpin rangkaian museum raksasa Qatar Museums Authority.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com