Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Masa Depan Koleksi Seni Istana Presiden

Kompas.com - 19/07/2017, 21:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Dalam agenda-agenda harian pun dunia internasional wajib tahu. Selain Museum-museum berskala nasional dibawah Kemdikbud ada pula entitas lain, semacam “Museum” Istana Presiden yang menyimpan memori kolektif bangsa.

Yang ketiga, dibentuknya Dewan Kurator multi disiplin. Hari ini, kita dituntut tidak hanya paham sejarah, membuat program kuratorial berupa agenda berbobot dan keahlian konservasi benda –benda kuno saja, serta membuka seluasnya kajian penelitian dan akses pendidikan ke publik.

Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) wajib menginisiasi Dewan Kurator yang tak hanya memahami sejarah seni dan sejarah umum di Indonesia, serta rentetan panjang kehidupan Soekarno, tapi juga kondisi mutakhir masyarakat sekarang.

Latar belakang politik, peristiwa revolusi, motif-motif dan visi Soekarno tentang kebudayaan tentu sudah pasti harus tahu. Selain itu, juga ada kemampuan manajerial dan inovasi-inovasi sebagai kekuatan utama menghubungkan koleksi Istana Presiden tersebut dengan lajunya zaman.

Akan sangat ideal jika dewan khusus dibentuk seperti di Amerika Serikat, National Endowments for the Arts, yang akan memayungi secara legal lembaga-lembaga seni dan komunitas dengan intitusi seni budaya independen. 

Yang keempat, berkaitan dengan politik anggaran. Masyarakat tentunya sangat bersyukur jika minimal ada Keppres yang akan menyediakan secara khusus anggaran untuk memelihara benda-benda bersejarah tersebut.

Dengan demikian, Setneg memiliki wewenang mutlak untuk menggagas, merencanakan, membentuk tim khusus serta membenahi infrastruktur dasar pengelolalaan benda seni, memastikan poin-poin satu sampai ke-tiga tersebut diatas bisa terwujud.

Dari sana, kita merasakan kehadiran negara lebih dekat, sekaligus membumikan cita-cita Soekarno bahwa seni adalah bagian integral dalam mengisi kemerdekaan.

Yang terakhir, memotivasi partisipasi publik memonitor dan mengakses karya-karya koleksi Soekarno setiap saat. Pada abad digital, segala hal menjadi transparan. Dengan mengizinkan “membuka gerbang” Istana presiden lebih luas, masyarakat ikut memiliki.

Imajinasi keindonesiaan mampu ditularkan secara otomatis, tanpa menunggu sebuah pameran khusus tiap tahun. Dengan belajar pada masa lampau, berefleksi di saat ini untuk bekal masa depan, sangat urgen dilakukan, terutama bagi generasi muda.

Tantangan disintegrasi, maraknya intolerasi, dan melemahnya semangat kebinekaan bisa direduksi dengan mengeksplorasi objek-objek seni itu sebagai elemen penting, kenapa kita menyebut diri sebagai bangsa Indonesia? Lukisan atau patung, menyimpan simbolisme kuat tentang sejarah berdirinya negeri ini.

Kembali ke pameran yang akan digelar Agustus nanti di Galeri Nasional Indonesia. Tentu saja, jika jadi terselenggara. Dalam hitungan hari kita sudah memasuki bulan keramat Harlah Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Namun, belum ada sosialisasi dari penyelenggara.

Semoga bertemunya berbagai pihak dalam satu acara, kolaborasi Kemdikbud, Bekraf, dan Setneg serta Bank Mandiri bisa berjalan dengan baik.

Bagaimanapun, event sejenis tahun lalu dengan tajuk “17:71 Goresan Juang Kemerdekaan 2016” akan diulang lebih menarik. Sebagai langkah penting tahun ke-2, Pemerintah Republik Indonesia secara serius memikirkan masa depan warisan Soekarno dalam bidang budaya yang menjadi milik kita bersama.

Video-video di bawah ini, menggambarkan bagaimana Soekarno dan segala perhatiannya terhadap seni. Simak videonya di bawah ini:


Soekarno dan pemimpin lain sedang jumpa pers dengan jurnalis luar negeri (1947) dirumahnya dijalan Pegangsaan Timur no.56. Sebagai latar belakang (backdrop), lukisan Henk Ngantung, yang menggambarkan laki-laki memegang anak panah, simbol kemerdekaan dan bangsa baru menatap masa depan.



Soekarno bertemu pemimpin RRC, Mao Zedong dan diperlihatkan di foto-foto (1956). Mao dan soekarno terlihat membahas buku-buku lukisan koleksi Istana Presiden RI yang akan dicetak di Peking.


Soekarno dan delegasi Indonesia disambut para pemimpin Hungaria (1960), dan sempat menyaksikan pertunjukan drama di sebuah gedung opera.

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com