SEBUAH pameran seni di Yogyakarta menyajikan tuturan sebuah perjamuan makan malam yang puitik. Mengajak kita menyusuri babak-babak tragik para perempuan, yang kemudian beririsan dengan ingatan komunal tentang negeri ini.
Pameran yang menampilkan satu karya instalasi berjudul “Dinner Club”. Menawarkan ide mengundang 9 tokoh sejarah dunia dan dari jagat mitologi menyaksikan nasib pedih perempuan-perempuan itu.
Meja perjamuan dibentuk dengan simbol gender female, terbuat dari kayu rel kereta api. Kemudian video dokumentasi dan piring-piring yang bersimbol imajinatif tentang figur-figur: Malahayati, Colliq Pujie, Bunda Teresa, Siti Khadijah, Helena Blavatsky, Aung San Suu Kyi. Di wilayah mitologi kita bersua Dewi Sri, Venus serta Dewi Kwan Im.
Kita diajak senimannya, Lenny Ratnasari Weichert, bercengkerama bersama 9 tokoh itu membayangkan apa, yang misalnya ada dalam pikiran Siti Khadijah, perempuan mulia isteri Nabi Muhammad SAW. Ia seolah menyantap makan malamnya dengan bertemu seorang Dewi kecantikan dalam mitologi Yunani, Venus.
Mereka berdua berupaya berempati pada nasib almarhum Marsinah. Seorang aktivis kemanusiaan perempuan yang dibunuh pada zaman Orde Baru dan terus menyisakan teka-teki sampai saat ini.
Atau kisah lainnya, kita bisa merenungkannya, contohnya bagaimana seorang Colliq Pujie, sastrawan, panglima perang dan sarjana perempuan abad ke-19 di Bugis harus duduk bersanding dengan sorang occultist bernama Helena Blavatsky, penggagas masyarakat Theosofi dari Rusia.
Mereka menonton pengakuan Mbah Lestari yang eks Gerwani, sebuah organisasi terlarang underbouw Partai Komunis Indonesia.
Atau, Anda bisa menerbangkan benak pada seorang panglima perang Aceh, abad ke-19, yang memimpin laskar janda Inong Balee, Malahayati, dari Aceh ikut menyimak video rekaman wawancara korban budak seks, Ianfu, pada masa kolonialisasi Jepang. Ia berdampingan dengan sosok junjungan masyarakat Tionghoa, Dewi Kwan Im.
Ia menyiapkan tim khusus membuat karya. Selama berbulan-bulan, terutama untuk video dokumentasinya dengan menelisiknya dari berbagai sumber dengan sebuah tim, yang terdiri dari dari kamerawan, penulis, dan ia sendiri.
Lenny mendokumentasi para tokoh dari orang-orang dekat di sekelilingnya. Dari Mbah Lestari, yang berusia 90-an, yang kini telah wafat, sampai tuturan berlinang air mata seorang pekerja migran (TKW-tanpa nama) di Arab. Lenny bertemu di bandar udara yang kemudian merekam serta mewawancarainya.
Dinners Club menjadi unik, tatkala karya ini kita lekatkan pada semangat strategi visual apropriasi Lenny pada seniman perempuan Amerika Serikat Judy Chicago, dengan karyanya “Dinner Party”.
Chicago kita kenal karena tenar dengan konsep feminist art dengan mengimajinasikan 39 piring tokoh perempuan dalam instalasi meja makan segitiga dengan konsep para perempuan yang berkontribusi pada peradaban Barat, serta 999 nama lainnya yang terserak di lantai. Yang keduanya memiliki kemiripan sekaligus perbedaan.
Lenny membubuhkan kekuatan ke-Timuran lebih dominan dari peradaban dunia yang dianggap Barat, dengan hanya menyisakan 3 tokoh di sana: Helena Blavatsky (Rusia), Bunda Teresa (Albania), dan Venus (Yunani). Sedang yang lainnya adalah “milik” teritori dunia Timur.
“Dinner Club” juga menyajikan sosok Bunda Teresa, yang beberapa tahun lalu ditasbihkan Vatikan menjadi Santa dengan peran spiritualitasnya mengemuka menjadi “Dewi Timur sekaligus Barat”, kala ia bekerja seumur hidup untuk melayani orang-orang papa di Kalkuta, India.