Salah satunya yang bagus secara fisikal karya Dullah dengan "Halimah Gadis Atjeh (1951) atau yang di ruang lain; aura mistis karya Walter Spies di "Bertapa di Candi Tebing Bali Abad Kesebelas (1930)".
Tema utama "Senandung Ibu Pertiwi" memang mengingatkan kita bahwa hari-hari ini Ibu Pertiwi, di bulan Agustus sedang berulang tahun. Ia mungkin sedang bernyanyi, separuh tertahan lirih, yang mungkin sedang menghibur hati yang lara?
Jangan-jangan, sebuah pameran yang memang disiapkan untuk merintih tersebab terbuai keindahan?
Seperti pernah yang ditulis oleh Ismail Marzuki:
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Yang bergemuruh
Pameran "Senandung Ibu Pertiwi" bisa jadi pameran yang sengaja dirancang utopis. Pameran yang tidak menjejak pada realitas indrawi sebagai manusia komunal.
Sebuah imajinasi menderu memimpi awan dan mega-mega nun jauh di atas sana. Sebuah idealisasi tentang Indonesia yang sedang tertatih-tatih berproses, dengan sawah, gunung, lautan dengan seluruh kandungan mineral, minyak, dan gas yang tidak dimiliki negeri ini.
Yang kita lakoni hari ini, bukankah masih jauh dari biutifikasi lukisan-lukisan itu?
Gambar-gambar para perempuan elok dengan kerlingan mata yang manja, corak beragam tradisi dan etnis yang seakan sama sekali tidak menyimpan masalah. Tak ada gejolak.
Ia luruh dalam diam, tapi gemuruh yang muncul tiba-tiba hanya dalam dua lukisan "Djika Tuhan Murka (1949-50)" milik Basoeki Abdullah atau karya Raden Saleh berjudul "Harimau Minum (1863)".