Di beranda muka galeri Gedung B, karya-karya instalasi dengan meja terdera coretan, lukisan dan kata-kata dari para pendiri Republik ini.
Semuanya mendekorasi kursi khas tahun 1940-an, lengkap dengan meja bundar ditengah yang menyajikan nampan dan diatasnya ada 7 bungkus nasi bungkus kayu.
Judulnya "Mereka yang Terhormat (2017)", sungguh tepat. Budi membangun ruang tamu di pamerannya dengan rasa nasionalisme yang segera mencuat.
Di sana ada nama-nama seperti orang-orang yang layak dihormati: Soekarno, Hatta, Tirto Adi Suryo, Eduard Douwes Dekker, dan lain-lain.
Nasi bungkus kayu, kemudian menggiring kita ke dalam ruang lainnya dan makin menyesakkan dada dengan panorama yang makin chaos.
Ada vespa kayu dengan plat nomor: RI 1, sampai sebentuk instalasi yang menyerupai warung angkringan (warung nasi khas Yogyakarta) yang penuh tempelan koran dan coretan cat akrilik serta foto-foto atau lukisan profil tokoh potitik, agamawan sampai ilmuwan.
Pada akhirnya, kita bertumbuk pada deretan nasi bungkus yang tertata di dinding kayu dengan judul: "Atas Nama Rakyat (2010-2017)". Nasi bungkus, dengan demikian menjadi poin penting selain surat kabar yang bertebaran di sekujur ruang pameran.
Jika kita mengaitkan ini dengan bersilangnya keriuhan tanda, pastilah akan segera tertangkap Budi hendak secara langsung, ia ingin berbicara soal kesenjangan sosial yang yang terjadi.
Keadilan sosial yang dicitrakan dengan nasi bungkus, representasi wong cilik, masih jauh dari kondisi saat ini. Sementara, koran-koran yang dulunya menjadi media perpanjangan perjuangan atas keadilan menjadi watch dog bagi demokrasi dan penyelenggara negara, mungkin saja telah dimanipulasi dari fakta-fakta dan menjadikannya semata fiksi atau bualan belaka. Di kondisi sekarang, itu bertransformasi menjadi hoaks pada media-media virtual serta di jagat maya.
Bagaimanapun, pameran yang konon dijaga oleh tiga kurator ini cukup berhasil memanggungkan keresahan-keresahan menjadi Indonesia, yang tentu saja jauh dari kata bersenandung.
Bagi Budi Ubrux, si seniman, ia ingin benar-benar tanpa basa-basi membuang waktu dengan berkias seolah "membius jiwa" dengan karya seninya, ia lebih memilih langsung merintih kesakitan melihat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.