Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Yang Bersenandung dan yang Bergemuruh

Kompas.com - 18/08/2017, 18:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

BULAN Agustus ini khalayak seni dan publik luas disuguhi pameran lukisan "Senandung Ibu Pertiwi". Inilah pameran lukisan berskala akbar koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia.

Disebut akbar mengingat tahun kemarin dikunjungi lebih dari 30.000 orang, yang bukan di ranah media virtual. Tapi orang-orang berkunjung langsung ke pameran.

Dengan ekspos media nasional—bukan media internasional—yang digeber secara masif. Tentu saja, juga didukung oleh karya-karya yang ditampilkan cukup berkualitas.

Jangan lupa, dikatakan akbar karena seperti tahun lalu, meski inisiasi datang dari Kementerian Sekretariat Negara--kementerian yang bertugas merawat karya-karya lukisan tersebut, namun merupakan kerja kolaboratif dengan kementerian dan badan lain.

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta satu BUMN, yakni Bank Mandiri, ikut berkontribusi dalam kerja itu. Anda bayangkan, sebuah kerja besar tentunya.

Ada itikad mengulang kesuksesan tahun sebelumnya, pameran sejenis yang mendekatkan koleksi karya-karya seni milik Istana Kepresidenan sebagai event penanda bulan Kemerdekaan RI sekaligus sajian khusus bagi masyarakat.

Di samping itu, seperti apa yang dikatakan oleh Menteri Sekretariat Negara Pratikno dalam pengantar katalogus pameran tahun 2017 ini, dicatat sebagai "karya-karya yang ada, telah melalui seleksi cermat dan sangat teliti oleh para kurator yang diharapkan sanggup menyajikan karya seni terbaik, yang berpadu dengan kekayaan makna di dalamnya".

Pameran tersebut, kata Pratikno, memang telah dijaga ketat oleh empat kurator dengan menyuguhkan 48 lukisan dari 41 para maestro seni lukis maupun yang belum cukup dikenal oleh publik seni, tetapi telah terdokumentasi di sejarah seni rupa Indonesia.

Jika kita menengok ke Galeri Nasional Indonesia, tempat pergelaran tersebut, kita akan menyaksikan panorama lukisan-lukisan yang menguarkan suasana tenteram, adem, dengan warna dan obyek-obyek yang mempesona mata. Dengan bingkai empat tema kuratorial: keragaman alam, dinamika keseharian, tradisi dan identitas serta mitologi dan religi.

Lihat saja, di mana-mana mata terpapar lanskap yang indah tanpa cela seperti karya Wakidi dengan "Senja di Daratan Mahat (1954)", kehidupan keseharian yang nirmasalah, nelayan dan pedagang saling berinteraksi dengan damai di "Lelang Ikan (1963)" milik Itji Tarmizi. Atau, lukisan deretan perempuan-perempuan yang molek di ruang sebelah kanan Galeri Nasional Indonesia, seolah tanpa cacat.

Salah satunya yang bagus secara fisikal karya Dullah dengan "Halimah Gadis Atjeh (1951) atau yang di ruang lain; aura mistis karya Walter Spies di "Bertapa di Candi Tebing Bali Abad Kesebelas (1930)".

Tema utama "Senandung Ibu Pertiwi" memang mengingatkan kita bahwa hari-hari ini Ibu Pertiwi, di bulan Agustus sedang berulang tahun. Ia mungkin sedang bernyanyi, separuh tertahan lirih, yang mungkin sedang menghibur hati yang lara?

Jangan-jangan, sebuah pameran yang memang disiapkan untuk merintih tersebab terbuai keindahan?

Seperti pernah yang ditulis oleh Ismail Marzuki:
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Yang bergemuruh

Pameran "Senandung Ibu Pertiwi" bisa jadi pameran yang sengaja dirancang utopis. Pameran yang tidak menjejak pada realitas indrawi sebagai manusia komunal.

Panorama Pameran Senandung Ibu Pertiwi, Pameran Koleksi Seni Istana Kepresidenan 2017, 2-30 Agustus, di Galeri Nasional Indonesia.SUBIIBUS Panorama Pameran Senandung Ibu Pertiwi, Pameran Koleksi Seni Istana Kepresidenan 2017, 2-30 Agustus, di Galeri Nasional Indonesia.
Sebuah imajinasi menderu memimpi awan dan mega-mega nun jauh di atas sana. Sebuah idealisasi tentang Indonesia yang sedang tertatih-tatih berproses, dengan sawah, gunung, lautan dengan seluruh kandungan mineral, minyak, dan gas yang tidak dimiliki negeri ini.

Yang kita lakoni hari ini, bukankah masih jauh dari biutifikasi lukisan-lukisan itu?

Gambar-gambar para perempuan elok dengan kerlingan mata yang manja, corak beragam tradisi dan etnis yang seakan sama sekali tidak menyimpan masalah. Tak ada gejolak.

Ia luruh dalam diam, tapi gemuruh yang muncul tiba-tiba hanya dalam dua lukisan "Djika Tuhan Murka (1949-50)" milik Basoeki Abdullah atau karya Raden Saleh berjudul "Harimau Minum (1863)".

Hutan yang digambarkan seram-gelap dan terasa angker di latar belakang dua raja hutan yang sedang minum, maupun citraan amuk bencana alam serta manusia-manusia layaknya anai-anai karya Basoeki Abdullah. Benar-benar lukisan bergemuruh bertentangan dengan tema utama pameran.

Selain dua lukisan tersebut, kita segera saja mengenang Sudjojono. Siapa lagi pelukis yang selalu meradang, yang mengatakan lukisan hendaknya mengutamakan "kebenaran dahulu, setelah itu baru kebagusan!" pada tahun 1950-an.

Mooie Indie, sebuah mazhab seni lukis yang memuja keindahan fisik alam, yang mengemuka dengan gambar gunung, sawah, pantai dan jalan-jalan pedesaan serta perempuan elok segera saja terngiang-ngiang; yang dijadikan olok-olok itu oleh Sudjojono. Yang kemudian sangat dekat dengan tema pameran kali ini.

Tentu saja, tajuk "Goresan Juang Kemerdekaan" pada pameran 2016 lalu kemudian menjadi lebih berderak keras dalam konteks hari ini dan tentu saja menjadi lebih berkualitas.

Masih ingat dengan lukisan Sudjojono "Mengungsi (1950)"?

Seperti yang dikisahkan oleh Mia Bustam, istri Sudjojono dalam bukunya berjudul "Sudjojono & Aku (2006)", lukisan ini bersumber dari kejadian sesungguhnya, yakni pada saat Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta pada 1947 dan baru dikerjakan di studio penyelesaiannya tiga tahun kemudian.

Kita akan menyaksikan suasana bergolak, dinamis, seperti kata Tedja Bayu, anak tertua Sudjojono pada penulis "anak kecil itu adik saya, Nasti Rukmawati yang memakai periuk nasi di kepala, yang digendong oleh Mbah Putri saya, Mbok Marijem, seorang kuli kontrak di kebun karet, Kisaran, Deli. Sementara saya, anak lelaki itu, yang digandeng oleh paman saya, kita semua dalam situasi panik".

Kita melihat sesuatu yang hidup. Bukankah hari ini kita, setelah 72 tahun memerdekakan diri dari kolonialisasi, bisa merefleksikan bahwa masih tetap saja menjadi "pengungsi di negeri sendiri", tatkala sumber-sumber kekayaan alam milik kita belum atau tidak berdaulat penuh dimiliki bangsa ini?

Potret HOS Tjokroaminoto, karya Affandi, 80 x 60 cm, 1946, cat minyak di kanvas.KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA Potret HOS Tjokroaminoto, karya Affandi, 80 x 60 cm, 1946, cat minyak di kanvas.
Atau, lukisan lain yang tak kalah bagusnya dipamerkan pada tahun lalu, milik Affandi, "Potret HOS Tjokroaminoto (1946)". Menurut Kartika Affandi, lukisan ini dikerjakan oleh Affandi ketika tinggal di Kampung Gendingan, Ngabean, Yogyakarta.

Masa itu Affandi bersama keluarga mengontrak rumah milik Keluarga Tjitrosumarto. Lukisan yang dipajang di gedung utama Istana Kepresidenan Yogyakarta sampai sekarang itu memancarkan aura percaya diri.

Perhatikan tatap matanya Tjokroaminoto, gestur tubuhnya dan gaya brush stroke transisi lukisan Affandi dari gaya realis menuju ekspresionis jelas kentara.

Kita melihat energi yang kuat di sana, potret seorang pemimpin dengan lamat-lamat latar belakang ditampakkan sosok-sosok orang yang digambarkan sebagai rakyat Indonesia. Pemimpin yang mengayomi dan hari ini kita minus pemimpin setara dia.   

Penulis kemudian menduga-duga, kata-kata Menteri Sekretariat Negara bahwa karya yang telah melalui seleksi cermat dan sangat teliti oleh para kurator sungguh patut disangsikan.

Mudah-mudahan, dari sekitar seribuan karya lukisan milik Istana Kepresidenan yang layak pamer, lebih dari sekadar lukisan "bersenandung saja" dengan keelokan-keelokan fisikal.

Namun, mampu mengoyak ulu hati, dan terutama nalar: refleksi semacam apa yang sebenarnya yang patut kita panggungkan dalam pameran penting semacam ini, kelak di kemudian hari?

Lukisan karya Dullah dan Henk Ngantung yang dipamerkan pada pameran Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional Indonesia tahun 2016.KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA Lukisan karya Dullah dan Henk Ngantung yang dipamerkan pada pameran Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional Indonesia tahun 2016.

Gemuruh yang lain

Pada saat yang sama, ada sebuah pameran memikat di Galeri Nasional bertajuk "Indonesia", pameran solo karya seniman Budi Ubrux.

Tak hendak membandingkan pengalaman panjang dalam sejarah seni rupa Indonesia yang menorehkan kemaestroan para pelukis Indonesia, tetapi kontekstual ruang dan waktu yang membuat gelaran seni unik di Gedung B ini menggugah nalar.

Tepat bersebelahan dengan pameran akbar yang dihelat di gedung A Galeri Nasional Indonesia, kita dihentak lukisan, instalasi, patung serta berbagai rupa tempelan-tempelan koran di dinding maupun di obyek-obyek berbentuk nasi bungkus terbuat dari kayu yang menyambut kita.

Angkringan, karya Budi UbruxSUBIIBUS Angkringan, karya Budi Ubrux
Gedung B menjadi hiruk-pikuk, dan jauh berbeda dengan lukisan-lukisan para maestro tadi yang senyap menciptakan rasa ngelangut itu. Budi Ubrux si seniman, rupanya gerah dengan segala pameo "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja" selama ini sebagai sebuah jargon tentang wajah Indonesia.

Ia harus meneliti ulang, makna merdeka dan menjadikan seni kontemporer sebagai media untuk berteriak, menantang kondisi riil  sekaligus merenunginya.

Apakah benar keindahan dalam seni itu dengan cara meretas yang selama ini tersembunyi dalam sejarah dan diabaikan generasi-generasi penerus?

Memeras olah pikir kandungan sejarah, kemudian menyusuri patahan-patahan kekecewaan rakyat dalam kondisi dulu dan kini bagi bangsa Indonesia?

Menjadi Indonesia, satu-satunya jalan, memulainya merunut kisah para pelopor bangsa, dengan titik revolusinya pada pendirian surat kabar masa kolonialisme.

Dengan demikian, inti karya Budi mengedepankan aspek ilmu pengetahuan, informasi yang benar dan bergolaknya pergerakan nasional sekaligus.

Di beranda muka galeri Gedung B, karya-karya instalasi dengan meja terdera coretan, lukisan dan kata-kata dari para pendiri Republik ini.

Semuanya mendekorasi kursi khas tahun 1940-an, lengkap dengan meja bundar ditengah  yang menyajikan nampan dan diatasnya ada 7 bungkus nasi bungkus kayu.

Judulnya "Mereka yang Terhormat (2017)", sungguh tepat. Budi membangun ruang tamu di pamerannya dengan rasa nasionalisme yang segera mencuat.

Di sana ada nama-nama seperti orang-orang yang layak dihormati: Soekarno, Hatta, Tirto Adi Suryo, Eduard Douwes Dekker, dan lain-lain.

Nasi bungkus kayu, kemudian menggiring kita ke dalam ruang lainnya dan makin menyesakkan dada dengan panorama yang makin chaos.

Mereka yang Terhormat, karya Budi Ubrux.SUBIIBUS Mereka yang Terhormat, karya Budi Ubrux.
Ada vespa kayu dengan plat nomor: RI 1, sampai sebentuk instalasi yang menyerupai warung angkringan (warung nasi khas Yogyakarta) yang penuh tempelan koran dan coretan cat akrilik serta foto-foto atau lukisan profil tokoh potitik, agamawan sampai ilmuwan.

Pada akhirnya, kita bertumbuk pada deretan nasi bungkus yang tertata di dinding kayu dengan judul: "Atas Nama Rakyat (2010-2017)". Nasi bungkus, dengan demikian menjadi poin penting selain surat kabar yang bertebaran di sekujur ruang pameran.

Jika kita mengaitkan ini dengan bersilangnya keriuhan tanda, pastilah akan segera tertangkap Budi hendak secara langsung, ia ingin berbicara soal kesenjangan sosial yang yang terjadi.

Keadilan sosial yang dicitrakan dengan nasi bungkus, representasi wong cilik, masih jauh dari kondisi saat ini. Sementara, koran-koran yang dulunya menjadi media perpanjangan perjuangan atas keadilan menjadi watch dog bagi demokrasi dan penyelenggara negara, mungkin saja telah dimanipulasi dari fakta-fakta dan menjadikannya semata fiksi atau bualan belaka. Di kondisi sekarang, itu bertransformasi menjadi hoaks pada media-media virtual serta di jagat maya.

Bagaimanapun, pameran yang konon dijaga oleh tiga kurator ini cukup berhasil memanggungkan keresahan-keresahan menjadi Indonesia, yang tentu saja jauh dari kata bersenandung.

Bagi Budi Ubrux, si seniman, ia ingin benar-benar tanpa basa-basi membuang waktu dengan berkias seolah "membius jiwa" dengan karya seninya, ia lebih memilih langsung merintih kesakitan melihat Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com