Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Apa di Balik Ramainya Film Berbahasa Jawa?

Kompas.com - 16/03/2018, 19:31 WIB
Irfan Maullana

Editor


KOMPAS.com - Bahasa Jawa belakangan mulai mendominasi pemutaran film, tidak hanya di tempat penayangan terbatas, tetapi juga bioskop-bioskop komersial. Ada apa di balik fenomena ini?

Di ruang pemutaran GoetheHaus, Jakarta, penonton tergelak, mengaduh menikmati film-film pendek yang mayoritas berbahasa Jawa. Tiga dari lima film pendek yang ditayangkan dalam acara Film, Musik, Makan itu menggunakan bahasa daerah dengan penutur lebih 84 juta jiwa tersebut.

Salah satunya adalah Waung (2018), film pendek karya Wregas Bhanuteja, sineas asal Yogyakarta yang pernah membanggakan Indonesia lewat film pendeknya, Prenjak (2016), yang meraih penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016.

Selain Waung, yang berkisah tentang seorang lelaki yang memiliki kesukaan khusus pada aroma, Prenjak, dan film-film pendek Wregas sebelumnya; Hanuman (2011), Lemantun (2014) dan Lembusura (2015), juga berbahasa Jawa.

"Saya menggunakan bahasa Jawa karena itu bahasa ibu saya. Saya merasa lebih luwes ketika membuatnya. Kalau berbahasa Indonesia, saya merasa kagok, terbata-bata," kata Wregas.

Bahasa Jawa digunakan Wregas karena film-filmnya tersebut berlatar di Yogyakarta.

"Mungkin karena saya punya kedekatan emosional cukup kuat dengan Yogya. Meskipun sudah delapan tahun di Jakarta, saya belum merasa nyaman mengangkat cerita dengan basis Jakarta."

Lelaki yang mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu menekankan bahwa penting baginya untuk membuat film yang dekat dengan dirinya, karena membuatnya paham seluruh elemen; seperti dialog, peristiwa, konflik dan tempat, dengan lebih baik.

"Dan ketika saya tahu dan paham apa yang mau saya buat, filmnya akan jadi lebih utuh, lebih bagus. Kalau saya memfilmkan cerita yang jauh-jauh, yang saya tidak pahami, takutnya jadi setengah-setengah, tidak orisinal."

Film Lembusura yang disutradarai Wregas, tayang di salah satu festival film paling bergengsi di dunia, Festival Film Berlin, 2015 lalu.

Arus Yogyakarta

Ramainya film-film berbahasa Jawa, tidak terlepas dari 'kebangkitan' sineas Yogyakarta, yang film mereka akhir-akhir ini menggeliat di berbagai penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Para sineas Yogyakarta merentang dari yang gaek, seperti Garin Nugroho (Opera Jawa, Setan Jawa), Ifa Isfansyah (Pendekar Tongkat Emas, Sang Penari), Edi Cahyono (Siti), hingga rekan sepantaran Wregas, Yosep Anggi Noen (Istirahatlah Kata-kata, Kisah Cinta yang Asu).

"Meskipun sineasnya banyak, tapi Yogya itu sempit. Kami sering dipertemukan di ruang-ruang putar, seperti Taman Budaya, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Lembaga Indonesia Prancis," cerita Wregas.

Kedekatan membuat para pembuat film di Yogyakarta, baik yang tua maupun yang muda, saling berbagi ide cerita, memberikan komentar dan berdiskusi. "Jadi ruang yang sangat asik bagi tumbuh perfilman," lanjutnya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com