BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan MLDSPOT Content Hunt 2

Tertawa Belum Tentu Lucu, Naufal Menjermahkannya ke Lukisan Inovatif

Kompas.com - 29/06/2018, 15:51 WIB
Dimas Wahyu,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com  - Tertawa. Efek ini muncul di diri manusia setelah melihat sesuatu yang lucu.

Filsuf sekaligus biolog Inggris abad ke-20, Herbert Spencer, menjelaskan bahwa hal itu terjadi lantaran manusia melepaskan energi psikis karena mendapati sesuatu yang berbeda dari yang diduga atau diharapkan. Yang satu ini bersifat spontan.

Lain lagi dengan tertawaan dalam teori humor George Eman Vaillant. Psikiatris sekaligus profesor di Harvard Medical School itu pada tahun 1977 menyebut jenis humor yang digunakan untuk membela diri, membuat suatu lelucon karena dirinya tidak paham dengan sesuatu yang dibicarakan.

Itu baru dua contoh. Namun, dua hal itu sudah menggambarkan rumitnya makna dari tertawaan. Hasilnya lebih kurang tetap sama: haha-haha. Namun, kompleks, bahkan menarik seorang pelukis bernama Naufal Abshar untuk coba menerjemahkannya ke dalam warna-warna dan gradasi ekspresi di karyanya.

"Ketawa itu basic tetapi menarik sekali untuk dibahas. Enggak semua ketawa itu dibentuk dari sesuatu yang lucu. Kadang kita menertawakan diri sendiri. Kadang kita tidak sadar bahwa di dalam ketawa itu ada politik, ada kritikan, ada ejekan. Jadi enggak slap in the face," kata dia.

Tidak slap in the face. Artinya, kritikan dan ejekan dalam bentuk tertawaan itu disuguhkan dan disadari dengan cara yang menyenangkan. Fun.

Kira-kira begitulah yang terlihat dari karya pelukis Indonesia yang mamerkan lukisannya di Singapura ini. Obyek wajah atau badan utuh kerap kali dibubuhi kata "ha-ha-ha". Semua lukisan ini sendiri merupakan bagian dari proyek "HAHA" Series-nya yang sudah dimulai pada 2014 lalu.

Di situ Naufal Abshar antara lain menggambar sekumpulan orang dengan dua individu tertawa yang masing-masing berpakaian warga sipil dan berjubah astronot.

Ada juga satu yang unik. Dua bentuk tubuh seperti Batman dan Robin era Adam West dan Burt Ward (kisaran 1960), tetapi dengan kepala berbeda, dan kaki ber-sneaker. Naufal membuatnya bagai mainan bongkar pasang Lego.

"(Awalnya terpikir) kok bosan ya, lukisan itu rata-rata kotak doang. Terus bagaimana jika lukisan itu juga bisa sangat atraktif. Jadi kita bisa mengganti-ganti karya-karya, misalnya kepalanya robot, badannya manusia," kata pria yang usianya menginjak 25 tahun ini.

Menurut dia, efek bongkar pasang itu membuat orang-orang merasakan kebebasan untuk berkreasi. Susunan lukisan pun bisa diubah kapan pun demi sebuah sudut pandang baru. Hal tersebut menjadi cara baru baginya dalam mengkreasikan sebuah lukisan.

Naufal saat sedang melukis.Widi Nalendra Naufal saat sedang melukis.

Juga tidak kalah unik ketika Naufal terlibat di kegiatan sosial. Karena kebetulan salah satu rekannya memiliki foundation untuk tunanetra, dia bersama temannya mengadakan acara menggambar untuk para tunanetra.

Ini memang sulit dibayangkan karena menggambar umumya berpatokan pada penglihatan. Namun, ide Naufal adalah menggambar melalui rasa.

Saat acara berlangsung, ia memutar musik jazz. Psychology drawing istilahnya. Hal tersebut lantas berfungsi sebagai art-therapy bagi para tunanetra sehingga mereka menggambar sesuai dengan apa yang dirasakan menggunakan mata hatinya.

Orangtua shock

Ide-ide Naufal tidak datang dalam kesempatan yang mudah dan bersifat tiba-tiba. Ini seperti tergambarkan dalam sejumlah lukisannya yang berobyek kepala tampak samping atau depan. Keduanya sama-sama dibubuhi kata-kata seperti "money management", "guardian", "family  - teacher".

“Ooh. Itu self portrait. Jadi saat saya launching lukisan, perlu ada self portrait. Akhirnya itu yang saya buat,” ujarnya menjelaskan bahwa kata-kata itu datang dari kekalutan tentang masa depannya.

Hal umum, sebenarnya, menurut dia ketika seseorang beranjak dewasa, lalu terpikir mau jadi apa selanjutnya. Lukisan itu merepresentasikan kekacauan pikirannya. Sebab, seperti kebanyakan orang, memberanikan diri untuk menegaskan bahwa dirinya akan menjadi seniman ketika dewasa adalah tantangan yang berat, termasuk dari orangtuanya.

Salah satu lukisan Naufal Abshar, pelukis tawa.Widi Nalendra Salah satu lukisan Naufal Abshar, pelukis tawa.

“Saya suka seni sebenarnya sudah sejak kecil. Cuma, pertama saya mengaku kepada orangtua, mereka shock. Waktu SMA, saya sering kali menggambar, tetapi teman-teman bilang mau jadi apa gambar-gambar melulu. Tapi saya, entah, rasanya sebenarnya seperti panggilan hati. A calling,” akunya.

Memilih menjadi seniman adalah cara baginya untuk bisa menerjemahkan ide-ide di kepalanya. Analoginya adalah ketika semua orang bisa membuat film, maka dirinya membuat lukisan. Ia pun yakin akan hal itu, tidak hanya bagi dirinya seorang, tetapi bagi dunia seni di Indonesia.

“Di dunia luar, orang-orang mungkin memandang seni sebelah mata ya. Tapi kalau kita masuk ke dunia seni, di Asia, di Indonesia, seni rupa itu cukup besar. Tidak cuma artisnya, kolektor, penikmat seninya juga. Dalam hal pasar, dalam hal masyarakat seninya, masif. Diversity. Jadi, bagus banget. Sekarang pun orang sedang melirik seni rupa lagi. Potensinya buat saya sangat besar,” kata dia.

Memang tidak mudah. Namun, keyakinan Naufal dengan caranya justru menjadi semacam revisi.

Ia membangun citra baru bentuk pelukis dan lukisan yang bersifat kekinian. Faktanya, sosok Naufal Abshar dijadikan sosok inspiratif dan dibahas dalam laman MLDSpot kategori Inspiring People.

Laman itu saat ini juga mengadakan MLDSpot Content Hunt Season 2, sebuah gerakan yang dapat dijadikan tempat berbagi inspirasi.

Cerita seperti milik Naufal bisa saja didaftarkan pada laman itu. Tujuannya  untuk menularkan dan mengapresiasi sosok-sosok yang menginspirasi dari Indonesia.

Bukan cuma Inspiring People, di dalam MLDSpot Content Hunt Season 2, Anda juga bisa bercerita mengenai produk dalam Inspiring Products, tempat-tempat menarik di Inspiring Places, ataupun komunitas yang kegiatannya patut dibanggakan dalam Inspiring Communities.

Dalam putaran kali ini sendiri, MLDSpot Content Hunt Season 2 ingin kembali mengangkat potensi-potensi menarik, inovatif, dan kekinian yang sebenarnya tidak sedikit di Indonesia, tetapi mungkin belum terlalu terekspos.

Contoh-contohnya mungkin ada di sekitar kita, atau bahkan diri kita sendiri sehingga tentu punya cerita yang menarik. Kita pun bisa turut membagikan cerita itu, bahkan turut dalam kontesnya dengan masuk ke halaman ini. Pendaftarannya sendiri ditunggu paling lambat hingga akhir Juni 2018.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com