Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lika-liku RUU Permusikan, Berawal dari Draf dan Tuai Polemik

Kompas.com - 05/02/2019, 14:27 WIB
Andika Aditia,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

Senada dengan Anang, penyanyi Glenn Fredly merasa regulasi ini perlu dibahas melihat ada tata kelola yang salah dalam industri musik Indonesia.

Kecilnya pemasukan industri musik Tanah Air menjadi alasan Glenn ingin tetap RUU Permusikan dibahas lebih lanjut.

"Ini kalau enggak dibicarakan mau sampai kapan bakal begini. Share market (musik) kita dari sekian peringkat, kita rendah banget ada sekitar di 30," ungkap Glenn saat ditemui di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2019).

Baca juga: Marcell Siahaan: RUU Permusikan Tidak Urgen

"Contoh deh, pemasukan dari dunia musik saja kecil banget, cuma 0,49 persen ke PDB (Produk Domestik Bruto). Bayangin, ini mau sampai kapan tata kelola musik kita begini," tandas Glenn.

Di lain pihak, Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf yang memasukkan musik ke dalam 16 subsektor ekonomi kreatif merasa RUU Permusikan perlu, asal saja isinya harus berkualitas dan tepat sasaran.

"(RUU Permusikan) Perlu kalau isinya bagus, karena ini sesuatu yang mengikat, karena yang dikhawatirkan kemarin (draf RUU Permusikan) belum sampai ke pemerintah, karena ini kan diinisiasi oleh Mas Anang dan kawan-kawan di DPR, sebetulnya draf RUU Permusikan itu masih sangat awal, draf itu biasanya bisa mengalami perubahan 18-20 kali," ucap Kepala Bekraf, Triawan Munaf, kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (5/2/2019).

Triawan merasa ekosistem musik saat ini masih sangat jauh dari kata ideal. Ia merasa perlu ada sistem yang dikuatkan oleh regulasi terkait.

"Betul (kontribusi musik terhadap PDB Nasional) 0,49 persen, sebetulnya kan ekosistem musik belum terbentuk, sehingga kegiatan ekonomi soal musik tidak termonetisasi dengan baik," ucap Triawan.

"Misal kita ciptakan lagu di Jakarta terus dinyanyikan di Medan, akhirnya karena tidak tahu, royalti enggak masuk, kan sistem yang menunjang itu juga belum ada," sambungnya.

Berkait hal tersebut, Triawan menilai perlu ada dorongan agar ekosistem musik bisa berjalan baik dengan komponen penunjang yang lengkap.

Sedangkan, kata Triawan, regulasi yang sudah ada masih sangat baru diterapkan sehingga belum terasa betul dan masih terus menyesuaikan.

"(sistem) Belum (menunjang), tapi sudah ada regulasinya seperti Hak Kekayaan Intelektual, serta Lembaga Kolektif Nasional, tapi ini semua masih awal, kita juga belum ada big data untuk memaksimalkan itu semua," ungkap Triawan.

Bagi Triawan, saat ini sebaiknya kita coba membuka mata bahwa perubahan terus terjadi semenjak era digital berkembang, termasuk dengan musik.

"Kalau secara spesifik tata kelola (musik) ini sudah diperkuat dengan big data, nah ini apakah UU itu membantu atau tidak (dilihat nanti), jadi UU ini harus tepat sekali untuk masa sekarang dan masa depan, karena konsep bisnis sendiri sedang berubah terus, di Amerika saja sedang terus berbenah soal itu (konsep bisnis musik)," ungkap Triawan.

Baca juga: Glenn Fredly Sebut RUU Permusikan Tetap Perlu Dibahas meski Pro dan Kontra

Berkait draf RUU Permusikan, Triawan menyayangkan naskah tersebut sudah tersebar padahal masih sangat mentah.

"Biasanya draf awal itu tertutup sifatnya, setelah ada pembahasan beberapa kali baru ini melalui panja (panitia kerja), dan uji kelayakan publik, ada banyak tahapan, belum lagi ada asosiasi yang dilibatkan," ucap Triawan.

"Kalau publik melihat ini ya.. yang benar saja, publik langsung was-was, karena ini kan masih sangat mentah sekali, karena belum waktunya go publik karena masih orat-oret gitu istilahnya," lanjut Triawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com