Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berawal Dari Eksklusivitas, Gatot Kaca Lahir Dipentaskan Berbeda

Kompas.com - 10/07/2011, 14:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - "No culture can live if it attempts to be exclusive", Mahatma Gandhi. Kutipan ini yang digunakan sebagai salah satu senjata mengadakan 'Jabang Tetuko' oleh penyelenggara.

"Siapa yang tidak prihatin jika mendengar fakta bahwa kini jumlah penari wayang orang profesional di Indonesia diperkirakan tidak lagi mencapai 150 orang. Meski jumlahnya masih lebih banyak daripada Badak Jawa yang tinggal 60 ekor, namun nasibnya pun terancam punah seperti Harimau Jawa," kata Mirwan Suwarso, sutradara 'Jabang Tetuko' dalam sambutannya di sebuah katalog, disinggung pula pada konferensi pers pementasan kembali 'Jabang Tetuko' di Senayan City, Jakarta, Kamis (7/7/2011).

Latar belakang inilah yang kemudian menggerakan hatinya untuk mencari akar permasalahan mengapa wayang orang seolah tak pernah laris di negeri sendiri. Justru, semakin banyak orang menggemari cara penuturan lain yang dianggap lebih menarik daripada pementasan wayang orang, seperti melalui film yang dipajang di bioskop. Akibatnya, cerita pewayangan beserta tokohnya menjadi tidak lebih terkenal di generasi-generasi selanjutnya daripada tokoh-tokoh yang hadir dalam film Hollywood misalnya.

"Saya terkadang merasa gerah melihat putra saya yang lebih mengenal Ben 10 dan Transformers daripada budayanya sendiri. Terkadang, sepintas pemikiran apakah budaya Indonesia sudah tak lagi relevan untuknya?" herannya.

Kisah dan cara penuturan pewayangan orang yang terkesan ekslusif inilah ditengarai sebagai sumber dari semakin sedikitnya bagian masyarakat yang bersedia mengambil porsi untuk melestarikan warisan budaya Indonesia tersebut. "Karenanya, saya mencoba untuk memperkenalkan kembali kisah wayang ke komunitas yang tidak mengenal perwayangan. Di sini, saya sengaja tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar supaya bisa diterima dan dinikmati oleh target audience yang lebih luas," ungkap Mirwan memaparkan idenya.

Cara-cara unik dalam menceritakan kisah 'Jabang Tetuko'--Jabang: lahir, Tetuko: nama kecil Gatot Kaca yang merupakan salah satu karakter dalam pewayangan--atau lahirnya Gatot Kaca dihadirkan dengan visualisasi cerdas dan baru.

Ketika Kompas.com bertandang memenuhi undangan menyaksikan pentas sinema 'Jabang Tetuko', memang ada tiga layar di panggung, satu layar lebar, dan dua layar proyektor yang menghimpitnya di sebelah kanan dan kiri. Apabila bioskop-bioskop kini mulai memiliki tayangan 3D (tiga dimensi) dengan menggunakan kacamata 3D, di sini tampilan 3D dari tontonan layar dimunculkan dalam atraksi wayang orang di atas panggung.

Tak ketinggalan, si dalang, oleh Ki Dalang Sambowo, juga asyik-masyuk memperagakan kebolehannya bermain wayang di sudut bawah layar proyektor sebelah kiri dan penampilan ini ditayangkan secara langsung ke semua layar yang ada di sisi panggung. Di sudut kanan terletak sebuah orkestra sebagai pengisi musik.

Alat-alat visualisasi kisah seperti sebuah replika kepala raksasa dihadirkan. Tontonan baru dan unik ini masih berlangsung dari Sabtu (9/7/2011) ini sampai Selasa (12/7/2011), di The Hall Senayan City, Jakarta, dalam durasi 65 menit. Sayang, harga tiket dipatok masih 'ekslusif' di antara Rp 200 ribu hingga sekitar Rp 1 juta yang terbagi dalam delapan kelas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com