Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Pluralisme Lewat "Brandal-Brandal Ciliwung"

Kompas.com - 09/08/2012, 16:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Meski sebuah film anak namun syarat dengan pesan yang layak dicontoh kalangan orang dewasa. Bagaimana sebuah perbedaan bukanlah halangan untuk bisa mewujudkan impian bersama. Diadaptasi dari novel klasik karya Achmad S terbitan Pustaka Jaya (1973), Brandal-brandal Ciliwung mencoba memotret khazanah Jakarta yang penuh warna dalam kehidupan yang harmonis.  


Inilah sebuah kisah di mana nilai-nilai sebuah persahabatan, kerukunan, gotong royong, dan kecintaan terhadap lingkungan menjadi warna dari setiap cerita yang dihadirkan.
 
Film produksi Maxima Pictures garapan sutradara Guntur Soeharjanto ini memberi pesan yang membumi namun tak menggurui. Bocah-bocah brandal dari pinggiran kali Ciliwung sana, menghadirkan kisah itu dengan penuh warna dan keceriaan.

Lihat saja, meski berbeda asal-usul, bocah-bocah Kali Ciliwung itu tetap menyatu dalam satu warna, yakni persahabatan. Beda karakter, beda suku dan agama bukanlah penghalang bagi mereka untuk bisa bersama dan membangun sebuah harapan besar bagaimana Kali Ciliwung, yang menjadi salah satu sumber kehidupan mereka, bisa tetap terjaga di tengah terkikisnya kesadaran orang-orang terhadap lingkungan.

Alkisah, tersebutlah sekelompok lima sekawan. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di bantaran kali Ciliwung. Karena suka bikin onar, oleh Wak Haji (Idrus Madani), guru ngaji mereka, kelimanya kerap dijuluki anak-anak brandal.

Tirto (Aldy Rialdy Indrawan), Timur (Julian Liberty),  Raja (M Syafikar),  Umar (Sehan Jack), dan Jaka (Endy Arfian) adalah bocah-bocah yang penuh warna. Selain punya asal-usul yang berbeda, kelimanya memang punya ceritanya sendiri.  

Jaka, misalnya, bocah SD ini berasal dari Betawi. Perawakannya  bule dan sedikit leboy. Oleh sahabatnya dia didapuk jadi ketua. Meski masih bocah, ia sudah terpikat dengan perempuan yang jauh tua darinya. Ada juga Tirto. Dia anak Jawa yang punya cita-citanya ingin jadi pedalang. Sial, ayahnya yang tukang baso dan mantan pedalang, justru tak merestuinya menjadi dalang.

Timur, anak asal Papua ini tergolong unik. Kalau lagi mikir, kebiasaannya pasti ngupil. Umar tak kalah seru. Dia berasal dari keturunan Arab. Ketimbang menekuni musik timur tengah, ia justru punya hasrat besar mempelajari Kung Fu. Lainnya ada Raja, bocah berdarah Batak. Yang tak kalah menarik adalah kemunculan Sissy (Gritte Agatha), dara berdarah China cucu Babah Alun, pemilik pabrik tahu di kampung mereka.

Dari mereka kisah-kisah itu lahir. Kehadiran mereka seolah mewakili negeri bernama Indonesia. Jakarta, menjadi potret jauh lebih kecil, di mana dihuni oleh bermacam-macam suku, adat istiadat dan budaya.  
 
Meski ceritanya ditulis Achmad di awal tahun 70-an, kisah dalam novel tersebut masih sangat begitu relevan dengan kehidupan bernegara di negeri ini. Tema pluralisme menjadi benang merahnya.

Inilah yang mendorong produser Ody Mulya Hidayat mengangkat cerita novel ini ke layar lebar.  "Ini potret masa lalu anak Jakarta dan sampai saat ini masih sangat linear dengan kondisi yang ada. Ada pesan untuk peduli lingkungan, semangat kebersamaan, dan persaudaraan," ujar Ody.

Pesan inilah yang dicoba ditularkan kepada anak-anak Indonesia lewat gambaran bocah-bocah tadi. Hal ini tentu maenjadi sangat relevan di tengah kian makin langkanya apresiasi terhadap perbedaan. "Meski berbeda mereka tetap bersahabat," jelas Ody.
    
Galibnya sebuah film anak-anak, bumbu-bumbu penyedap tetap disuguhkan untuk memikat selera. Konflik, petuangan dan kekonyolan bocah-bocah cukup memberi warna. Kehadiran aktor-aktor berkelas semacam Lukman Sardi, Henky Solaiman, Ira Wibowo dan Olga Lydia memberi ruh pada film ini.

Banyak penambahan di sana-sini dari novel menjadi cerita sebuah film. Ini tak lain untuk memberi daya pada cerita yang dihadirkan. Ody tak menampiknya.  "Setiap tokoh kita kuatkan ceritanya sehingga ada tujuh plot,  sehingga setiap pemain punya kisahnya sendiri," katanya.

Dari semua itu, ujung-ujungnya pesan yang terasa kuat adalah bagaimana memberikan pemahaman tentang arti kebersamaan tanpa mengotak-ngotakan. Kisah ini terasa kuat ketika muncul sosok Sissy dalam kelompok mereka.
 
Sentimen yang dialamatkan masyarakat kepada kakeknya, Babah Alun, akhirnya membentuk sekat dan stigma yang terbentuk dalam pikiran anak-anak. Bagi Jaka cs, Babah Alun digambarkan sebagai pria tua misterius yang tak pernah mau bergaul dengan warga. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat.

Hingga akhirnya, sebuah kejadian justru menyeret anak-anak Ciliwung itu lebih jauh mengenal sosok Babah Alun dan sang cucu, Sissy, yang sedang menghindar dari ibunya (Olga Lydia) dan memilih menetap di rumah sang kakek. Dari sinilah cerita itu mengalir manis. Pesan-pesan yang disampaikan begitu halus tanpa terkesan menggurui. Penyelesaian konflik pun diselesaikan dengan cara pandang anak-anak.   

Isu lingkungan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Ya, sebagai anak-anak pinggiran kali, bocal-bocah Ciliwung itu paham betul bahwa sungai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Di sanalah mereka menumpahkan keceriaan dan melepas mimpi-mimpi bersama.

Brandal-brandal Ciliwung, rencananya akan dirilis ke bioskop-bioskop Tanah Air pada 15 Agustus mendatang. Film ini menjadi satu dari sekian film nasional yang akan diputar menyemarakkan Lebaran tahun ini. "Akan dirilis di 85 layar bioskop di seluruh Indonesia," ujar Ody.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com