Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kisah3Titik": Buruh di Tiga Titik

Kompas.com - 05/05/2013, 09:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Film selalu menjadi pendukung paling setia realisme dan karena itu ia terasa dekat dengan kehidupan. Pijakan ini dianut secara "ketat" oleh Lola Amaria untuk kemudian melahirkan film-film yang berangkat dari realitas. Dan film Kisah3Titik mewakili realitas yang terabaikan.

Seberapa pun kecilnya, sebagai generasi yang terdidik baik, Lola memulai tahapan pembuatan film dengan riset. Setidaknya, dari riset-riset yang dilakukannya, gagasan yang tadinya "cuma" hidup di kepalanya menjadi lebih dekat dengan realitas. Pada Kisah3Titik misalnya, ia perlu mendatangi beberapa lokasi kantong buruh di Tangerang sebelum shooting benar-benar dilakukan. Hal yang sama ia kerjakan untuk membuat film Minggu Pagi di Victoria Park dan film omnibus Sanubari Jakarta.

Cara kerja yang demikian ini makin jelas membuktikan bahwa realisme menjadi ibu kandung paling dekat dari film. Kendati harus tetap dicatat, film tetaplah bukan realitas yang ditembakkan begitu saja ke atas layar. Ia tetap pada posisi sebagai representasi dari realitas yang dipahami oleh penulis skenario, sutradara, dan kemudian produser.

Kisah3Titik, yang secara khusus ditayangkan menyambut Hari Buruh, 1 Mei, pasti bukan kehidupan para buruh sesungguhnya. Sebagai penulis cerita Charmantha Adji, mengaku melakukan "pendekatan" ke kantong-kantong buruh sebelum menuliskan kisahnya. Apa yang kemudian ia tuliskan bukan apa yang ia lihat di lapangan, melainkan sesuatu yang diolah dengan sederet teori estetika agar layak disebut sebagai sebuah film.

Di mana posisi gagasan? Lola meletakkan gagasan sebagai hal yang utama dalam film-filmnya. Dan itu terasa begitu menonjol dalam film terbarunya ini. Ia seperti membuat semacam template terhadap gagasan untuk kemudian diisi dengan realitas kehidupan buruh yang ia serap selama melakukan riset. Di luar itu ada semacam akomodasi terhadap kepentingan institusi yang menangani buruh sehingga mau tak mau ia harus kompromistis.

Itulah sebabnya film ini tampak sangat "bersahabat". Terang-terangan Lola bilang bahwa ia tidak ingin menyalahkan siapa pun dalam kasus kemiskinan kehidupan buruh di Indonesia. "Saya cuma memperlihatkan realitas kehidupan para buruh kita. Tidak menyatakan benar dan salah," katanya.

Sikap ini memang mengandung ambigu. Pertama, sikap ini diambil Lola sebagai bentuk kompromistis terhadap Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendukung film ini. Kedua, bisa pula ini sebagai siasat untuk menyembunyikan gugatan sesungguhnya tentang kemiskinan dan ketertekanan yang mendera buruh kita. Lantas menyerahkan seluruh kesimpulan di tangan penonton menjadi jalan paling aman.

Kemalangan
Kita bisa melihat kehidupan tiga perempuan bernama Titik, yakni Titik Dewanti Sari (Lola Amaria), Titik Sulastri (Ririn Ekawati), dan Titik Kartika (Maryam Supraba). Sebagai sesama buruh hampir tak ada alur cerita yang mempertemukan ketiganya dalam satu peristiwa. Tetapi yang membuat mereka terlihat sama adalah persepsi kita tentang nasib ketiganya.

Meski menjabat sebagai manajer di satu pabrik, Titik Dewanti Sari juga menderita akibat perlakuan tidak adil. Gagasannya memberikan insentif sesuai hak-hak buruh ditolak atasannya. Ia merasa diabaikan.

Titik Sulastri lebih tragis. Sebagai janda hamil ia menerima diskriminasi di pabrik tempatnya bekerja. Tidak diberi cuti melahirkan yang layak, cuma diakui sebagai buruh kontrak, tidak juga diberi tunjangan berobat untuk kanker payudaranya.

Gambarannya lengkap, walau dalam film ini "kemalangan" itu tidak dieksplorasi menjadi sebuah tragedi kemanusiaan. Bahkan sutradara Bobby Prabowo memutus adegan dan menghentikan film ini ketika Titik Sulastri seperti terempas di sebuah koridor rumah sakit. Gambar berhenti dan film selesai.

Nasib Titik Kartika juga kurang lebih sama. Ketika ia dipecat secara semena-mena karena berkelahi melawan preman pabrik dan kemudian mengajak para buruh berdemonstrasi, tak ada yang peduli.

Bisa jadi nasib ketiga Titik dalam film ini menjadi bahasa simbolik. Masalahnya, sedari awal Kisah3Titik tidak disiapkan menjadi film dengan simbolisme yang kuat. Gambar-gambar dan adegan di dalamnya tidak hadir mewakili sebuah kekayaan simbol.

Rasanya menjadi tidak adil kalau tiba-tiba seluruh tafsir, kesimpulan, dan keputusan diserahkan kepada penonton. Ini memang soal keberanian untuk bersikap! (Putu Fajar Arcana)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com