Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melongok Sarang Saudara Sepupu

Kompas.com - 22/03/2015, 15:51 WIB
JAKARTA, KOMPAS -- Orangutan memiliki DNA yang hampir serupa dengan manusia. Persentuhan dengan kehidupan modern bukannya membuat mereka menjadi semakin aman, melainkan membuka pintu pada kepunahan. Bayangkan, di sebuah taman nasional yang seharusnya menjadi habitat teraman bisa dijumpai diskotek!

Berawal dari keprihatinan menyaksikan nasib orangutan itulah, Kompas TV mulai menayangkan program dokumenter alam berdurasi 60 menit bertajuk Orangutan Journey. Tayang setiap Selasa pukul 22.00, program itu dipandu produser sekaligus penulis naskah, Ulung Putri.

Pada episode pertama yang tayang Selasa (17/3/2015) malam, Orangutan Journey menyajikan kisah tentang perebutan kuasa orangutan jantan dominan di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Taman Nasional ini merupakan pusat rehabilitasi orangutan pertama di Indonesia dengan tiga lokasi rehabilitasi di Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey.

Di Tanjung Puting terdapat cerita tentang keperkasaan orangutan bernama Tom. Dengan perawakan besar dan rambut merah kekuningan, Tom menjadi orangutan jantan paling ditakuti di Camp Leakey. Ada juga kisah tentang orangutan yang berjuang hidup di alam liar di Desa Pasir Panjang, Kotawaringin Barat.

Orangutan Kalimantan merupakan satwa yang dilindungi dengan bulu kemerahan gelap serta tidak mempunyai ekor. Pejantan dewasa akan mengembangkan pipi sehingga membentuk bantalan. Semakin tua, bantalan di pipi terus membesar yang menumbuhkan kesan seram. Dari ratusan ribu, hanya tersisa 60.000 orangutan yang tinggal di belantara Kalimantan dan Sumatera.

Ulung Putri mengatakan, berubahnya fungsi hutan menumbuhkan konflik antara orangutan dan manusia. Orangutan lebih sering kalah. Merekam perjuangan si kera merah berarti menyaksikan bagaimana pertarungan antara manusia dan orangutan yang berlangsung di belantara Kalimantan.

"Orangutan Journey berusaha memberikan gambaran masa depan orangutan dengan belajar dari fakta masa lalu," kata Ulung.

Pada tayangan lain, Orangutan Journey berkisah tentang kehidupan orangutan di karantina yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival. Penonton diajak melihat kekejaman manusia menyiksa orangutan. Selain melepas trauma, orangutan belajar bertahan hidup mandiri sebelum dilepasliarkan.

Penyusutan hutan
Orangutan harus sehat, punya perilaku alami, dan mulai menjaga jarak dengan manusia sebelum dilepas ke hutan. Menemukan hutan bagi orangutan bukanlah perkara mudah. Dalam diskusi sebelum peluncuran tayangan Orangutan Journey, perwakilan dari World Wildlife Fund (WWF), Nina Nuraisyiah, bercerita bahwa orangutan harus dilepas ke hutan yang sama sekali tak dihuni oleh komunitas orangutan asli.

Ibarat orang kota yang dilepas ke hutan, orangutan pendatang cenderung akan berkonflik dengan orangutan yang lebih dulu menjadi penguasa hutan.

"Harus melepas orangutan ke habitat yang belum dihuni oleh kawanan orangutan supaya tidak terjadi perlawanan. Sama seperti melepas orang kota ke hutan," kata Nina.

Padahal, luasan hutan terus menyusut. Renie Djojoasmoro, Manajer Orangutan Foundation International (OFI), menyebut ancaman terbesar kelestarian orangutan berasal dari pesatnya perkembangan luasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, Renie mencontohkan ada 15 juta hektar hutan yang 12 juta hektar di antaranya telah menjadi areal konsesi.

Akibat penyusutan hutan, habitat orangutan pun makin menyusut. Pada kurun empat tahun sejak 2010, OFI telah melepasliarkan 60 orangutan ke alam. Namun, ketika sensus populasi digelar pada 2014, jumlah orangutan yang ditemukan di alam ternyata tak berbeda jauh dengan kondisi sebelum pelepasliaran, yaitu di angka sekitar 300 orangutan.

Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Desi Kusumadewi menegaskan pentingnya menjaga kelestarian orangutan.

"Keberadaan orangutan memang harus dijaga. Punya high conservation value. RSPO punya kebijakan, jika ada area konservasi, tidak boleh ada pembukaan lahan kelapa sawit," ungkap Desi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com