Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Kartini yang Ringkih, Kartini yang Gigih

Kompas.com - 21/04/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

SEJARAH Indonesia mementaskan sosok RA Kartini dengan unik. Sebagian ahli mengatakan ia ringkih, walau yang lain menyatakan gigih.

Selain disangka “boneka” politik etis Belanda, Kartini dianggap rapuh dilumat tradisi poligami. Pada narasi lain,Kartini berulangkali menjadi objek glorifikasi rezim politik penguasa manapun, baik sebelum dan sesudah Republik ini berdiri.

Sementara surat-suratnya didaku sejarawan sebagai karya intelektual perempuan Indonesia pertama, maka layak asmanya ditabalkan sebagai nama jalan, gedung, sampai sekolah-sekolah.

Meski sudah seabad lebih wafat, tiap bulan April ia masih belum “purna tugas” sebab ditantang oleh paradoks zaman. Istri ke-3 seorang Bupati Rembang ini memang jauh dari sosok garang yang menenteng kelewang.

Setidaknya, jika dibanding Laksamana Malahayati dari Aceh yang memimpin ribuan serdadu perempuan Inong Balee (janda-janda yang suaminya dibunuh di medang tempur). Malahayati juga dengan rencongnya menewaskan komandan ekspedisi dagang Belanda (Compagnie van Verre) yang arogan, Cornelis de Houtmanpada 1599.

Atau tokoh lain, Colliq Pujie, perempuan cerdas berdarah Bugis-Melayu abad ke-19 yang membuat aksara telik sandi tempur Bilang-Bilang melawan Belanda, dan seorang sastrawati cerlang penyalin epos terpanjang sejagat: LaGaligo.

Dua perempuan hebat itu tak adil disandingkan Kartini. Waktu dan tempat yang berbeda tentunya memercikkan reaksi tantangan kultural dengan respon yang berbeda-beda.

Awal abad ke-20, tatkala tulisan-tulisan Kartini mencengangkan sahabatnya JH Abendanon yang pernah menjadi Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah di Hindia Belanda (1900-1905), ia sebenarnya sedang berjuang menyibakkan nasib tragik negerinya.

Sisa-sisa perang Diponegoro, tanam paksa Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, serta “penjarahan” silih berganti bala tentara Belanda maupun Inggris mencabik-cabik Tanah Jawa dengan dua penyakit kronis: feodalisme dan tuannya, kolonialisme.

Jawa menjadi wilayah yang secara psikis dan fisik lumpuh. Inilah yang menjadi energi pikiran-pikiran Kartini.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com