Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Memahami Islam yang Anggun Melalui Seni

Kompas.com - 23/06/2017, 18:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Festival Istiqlal sebuah urgensi?

Inilah waktunya pemerintahan Presiden Jokowi tak hanya berkata: kerja, kerja, dan kerja saja. Selayaknya menimbang dengan matang dan membuat visi, tatkala Islam dengan kekuatan besarnya secara politis dalam beberapa tahun terakhir menampak jelas di permukaan.

Festival Istiqlal 2018 harus dihelat dengan besar dan menggema keseluruh dunia. Islam yang teduh, Islam yang menebarkan senyum, Islam Indonesia.

Kebimbangan, mungkin meruap, muncul menyibak keraguan, akankah kekuatan Islam destruktif? Jawabannya, tentu saja tidak dan tidak pernah akan terjadi.

Budaya Islam selama berabad-abad menghuni kepulauan tropis ini, dalam sejarahnya justru menampakkan keagungannya bahkan di era kolonialisme dan menjelang kemerdekaan, seluruh kekuatan Islam bersatu.

Membangun dengan kekuatan porosnya pada budaya, politik dan ekonomi yang mengkristal menjadi satu. Membebaskan negeri ini dari penjajahan.

Memberi makna keindonesiaan dan melahirkan ideologi Pancasila, adalah sebuah harga yang “kekal” tentunya bagi Islam.

Dengan demikian, kekuatan budaya, dalam konteksnya kesenian sudah layak diberi ruang lebih luas, sebuah urgensi yang mengatakan pada dunia Islam Indonesia ada dan tetap mengakar jauh kedalam dada, terus berkabar pada dunia.

Festival Istiqlal 2018 harus digagas sebagai gelaran festival raksasa, perwujudan ekspresi khasanah kultural, seni-seni pertunjukan, seni rupa, kriya, sastra, arsitektur, seni musik, film dll yang memberi wajah kita peradaban Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah serta Afrika.

Sementara itu, kita menoleh sejenak, jauh sebelum Republik ini berdiri, dalam catatan Pigeaud di Literature of Java, syiar Islam di Jawa pada abad ke-15 sangat bergelora, yang menakjubkan adalah gejala kegiatan pertukangan, kerajinan, serta penciptaan seni-seni Islam di bandar-pelabuhan utama, juga pusat-pusat pendidikan.

Pencatat lain, Tom Pires, seorang Portugal, yang menjenguk Tuban, Jawa Timur pada buku Summa Oriental, di sana menurut Pires penduduknya masih banyak beragama Hindu, kemudian beberapa tahun Islam secara damai merebak dengan cepat.

Indoartnow.com via Bambang Asrini W Karya Arahmaiani, 2011, dipresentasikan di Jogjakarta Biennale.
Sementara, AH Johns, menambahkan dengan Sufism as category in Indonesian Literature menyebut pada masa itu karena banyaknya ta’ifah (organisasi dagang), dari berbagai negara dan dibentuk orang-orang Islam lokal yang memang membangun industri kerajinan dan tekstil (batik) di kota-kota di pesisir Pulau Jawa.

Johns dan Pigeaud sepakat, Walisongo adalah penghulu para seniman Jawa. Khususnya, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.

Baca juga: Asia Tenggara di Gelaran Venice Biennale Ke-57

Mereka berdua adalah local genius pada lapangan kebudayaan. Mereka bertanggung jawab pada kemampuan menciptakan, membuat inovasi anyar dalam seni bernafaskan Islam, yang sangat khas Islam Jawa.

Ritual Maulidan, Sekaten di Yogyakarta, penemuan tradisi Lebaran, hari raya Ketupat, memperkenalkan kalender baru, yang mengubah kalender Saka menjadi disesuaikan dengan Islam. Seni pertunjukan wayang kulit, gamelan Jawa yang menjadi kontemplatif dan pencak silat juga digubah baru dan dikembangkan menurut asas-asas estetika sufistik.

Sunan Bonang, lebih menonjol, dalam susastra ia mewariskan Suluk Wujil yang terkenal itu bernafaskan tassawuf; bagi orang Jawa dianggap sesuai dengan aforisme-aforisme yang khas dan paradoks.

Sebagai seorang “militan” dalam pewayangan, Sunan Bonang menciptakan karya yang fenomenal dalam keyakinan Jawa Islam, yakni lakon Mahabharata yang Islami plus metafora-metafora, bahwa keniscayaan medan perang dua keluarga besar Pandawa dan Kurawa, sejatinya adalah nafi (peniadaan) dan isbat (peneguhan).

Nafi adalah sanggahan terhadap tiada Tuhan, isbat adalah peneguhan iman pada Yang Satu. Keduanya melebur dalam pertarungan di batin manusia, yang kemudian melahirkan frasa syahadat: la ilaha illa Allah yang menggentarkan kalbu itu.

Dengan bukti-bukti di atas, masihkah kita sangsi, memahami bahwa pondasi kebudayaan Indonesia adalah setarikan nafas dengan keanggunan Islam?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com