Sabtu pagi 14 Oktober 2017, saya diundang oleh kawan Linda Djalil untuk menghadiri peluncuran buku yang disuntingnya, di sebuah hotel di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Buku itu berjudul "Kenangan Peralihan Masa Prof. Sutan Muhammad Zain". Jarang saya mau datang pada acara pagi. Tapi karena pada acara peluncuran buku tersebut ada Pak Habibie yang mantan Presiden RI itu, saya pun mengalahkan kemalasan akibat kantuk.
Entahlah, saya jadi rindu dengan mimik lucu saat bicara Pak Habibie dan juga keterusterangannya saat mengungkapkan pikiran-pikirannya. Barangkali karena belakangan sudah sedemikian sumpeknya kehidupan di negeri ini, dan jarang melihat para pemimpin negeri tersenyum atau tertawa lepas. Benar juga, saat mendengar Pak Habibie bicara, hadirin beberapa kali dibikin tertawa oleh beliau saat bercerita tentang cucunya yang lucu.
Sampai di tempat acara, Pak Habibie sudah mulai bicara menjelaskan siapa tokoh Prof. Sutan Muhammad Zain. Sanjung puja terhadap sang tokoh meluncur dari mulut Pak Habibie, “Di masa mendatang dalam karir di mana-mana, saya sangat memperhatikan dan bersikap ramah kepada kaum muda, adalah hal yang saya ambil dari perilaku Sutan Muhammad Zain di masa lalu. Masa di Jerman yang indah. Saya tak akan pernah lupa seseorang yang sudah tua memperlakukan saya dengan santun."
Nama Sutan Mahmud Zain memang kurang akrab di telinga generasi sekarang, meskipun beliau adalah tokoh pendidik yang luar biasa. Sampai-sampai Pak Habibie berjanji akan mengusulkannya sebagai pahlawan nasional jika bertemu dengan Presiden Joko Widodo,
Nama Profesor Sutan Muhammad Zain dikenal puluhan tahun lalu dengan segala prestasinya. Tak banyak kini orang yang menyangka bahwa ia adalah guru yang sangat terpelajar, seorang ahli bahasa Indonesia yang menulis berbagai buku hingga dipakai bertahun-tahun pula oleh pemerintah Belanda sebagai asisten profesor di kota Leiden. Ia bukan ahli sejarah namun ketekunannya dalam penelitian sejarah patut dihargai. Ia tumbuh kembang di dunia pendidikan dan mengejar ilmu sepanjang hayatnya.
Selepas menjadi murid di surau kampung halamannya Pariaman Sumatra Barat, pria kelahiran tahun 1886 ini mulai bersekolah di Kweekschool - Sekolah Raja Bukittinggi (1904-1906), yaitu sekolah tertinggi di Sumatra. Sutan Muhammad Zain menjadi guru di Sekolah Rakyat Maninjau dan Sekolah Lanjutan di Makassar (1908). Ia sampai pula ke Betawi (Jakarta) tahun 1911 dan meneruskan mengajar bahasa Melayu khusus untuk pegawai bumiputera OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Bandung. Di kota yang sama tahun 1914 ia menjadi ketua PGHB (Perserikatan Guru Hindia Belanda).
Sutan Muhammad Zain sempat menduduki posisi redaktur di penerbit terkenal Balai Pustaka pada tahun 1917. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan menjadi anggota Gemeenteraad (DPRD) Betawi, setelah itu menjadi anggota Volksraad (DPR) tahun 1922. Ia bergaul dengan tokoh masyarakat seperti Haji Agus Salim, Husein Djajadiningrat maupun wartawan kawakan Dr. Abdoel Rivai. Puncak dari karir pada masa itu Sutan Muhammad Zain dikirim ke Belanda pada tahun 1922 untuk menjadi asisten profesor Van Ronkel di Leiden. Di sinilah ia dipuji oleh Van Ronkel sebagai ‘anak Minang yang pintar’. Bahkan ia sempat dibujuk untuk memperpanjang kontrak kerjanya. Ia menolak untuk lebih lama tinggal di negeri Belanda.
Kembali ke Jakarta, Sutan Muhammad Zain mengajar di HBS (Hogere Burger School), yaitu sekolah tinggi pertama untuk warga negara pribumi. Ia mendapat ijazah tertinggi dalam penguasaan bahasa Melayu, lalu pindah ke Bandung sebagai Wakil Direktur MOSVIA (Middelbare Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren). Di Jogja ia menjadi guru di AMS (Algemeene Middlebare School ) – Sekolah Menengah Atas, dan kembali lagi ke Betawi/Jakarta menjadi guru di Sekolah Tinggi Hukum. Ia kembali berpindah kota. Ia juga menjadi guru di Makassar. Di Surabaya dan Malang ia menjadi kepala sekolah. Di Jogja menjadi kepala Balai Bahasa Indonesia. Kembali ke Betawi/Jakarta, ia menjadi dekan Bahasa Indonesia di Universitas Nasional.
Ketika Jepang berkuasa di negeri ini, Sutan Muhammad Zain mulai menulis buku tentang gramatika bahasa Melayu. Buku inilah yang menjadi dasar gramatika bahasa Indonesia yaitu Buku Djalan Bahasa Indonesia dan Kamus Modern Bahasa Indonesia. Buku ini, jauh setelah ia wafat, dikembangkan oleh Jus Badudu menjadi Kamus Lengkap Badudu-Zain. Pihak Dewan Bahasa dan Pustaka di Kuala Lumpur ternyata juga memakai Kamus Modern Bahasa Indonesia dan beberapa buku yang lain sebagai acuan dan inspirasi penataan Bahasa Nasional Malaysia. Jauh sebelum Jepang datang ia pernah menulis buku tentang cara surat menyurat kontrak kerja maupun surat pribadi untuk keluarga dalam buku Kitab Soerat Menjoerat, memeriksa terjemahan buku Hikayat Marten Harpertszoon Tromp, menerjemahkan buku 437 Milioen tentang pembahasan belanja dan pendapatan Negara, Pengadilan, Perkara Uang dan Pemerintahan dalam Negeri, buku Zaman Baroe bahkan ia pernah menulis novel Harta Karoen pada tahun 1936.
Sutan Muhammad Zain tak puas hanya mempelajari bahasa. Guru sejarahnya semasa ia remaja, Engku Nawawi, adalah tempatnya menimba ilmu sejarah. Ada rasa ingin tahunya yang amat besar tentang sang guru yang sudah menerangkan segala pelosok tempat bersejarah, tapi tak pernah sepatahkatapun muncul cerita tentang kerajaan Sriwijaya yang menurut Coedes arkeolog dan ahli sejarah Asia Tenggara, menjadi kerajaan besar abad VII sampai abad XIV.
Setelah selesai menjadi Dekan di Universitas Nasional pada tahun 1956, Sutan Muhammad Zain menyusul anak sulungnya Zairin Zain yang menjadi Duta Besar di Jerman. Di tempat inilah ia dengan leluasa melakukan penelitian tentang Sriwijaya dengan rinci (menjadi buku Sriwijaya dan Kerajaan-Kerajaan di Sumatra Era Klasik). Penelitannya tentu tak lepas dari bekalnya bergaul dengan tokoh-tokoh intelektual Belanda seperti filolog Dr. Schrieke, Profesor Van Ronkel yang pernah tinggal di Tanah Minang yang kemudian menjadi atasannya di Universitas Leiden. Ia mengenal Dr. Hazeu yang giat bersama tokoh-tokoh kebudayaan Jawa untuk menghapus tingkat – tingkat bahasa Jawa yang memakai tingkat ngoko, tingkat terendah, yang dianggap sebagai bahasa yang pantas dipakai pada zaman yang demokratis. Anak Minang yang pintar ini juga sempat meneliti serta mengkritisi karya ahli sejarah Asia Tenggara Kuno George Coedes.
Buku ini juga menampilkan pendapat bahwa Sriwijaya pernah mengalahkan dan menguasai Semenanjung Malaysia, Thailand, Filipina, Sailan dan Jawa. Dengan tegas ia tekankan bahwa Sriwijaya adalah identik dengan Melayu. Kebesaran dan kejayaan Sriwijaya sesungguhnya adalah kebesaran dan kejayaan Melayu.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, naskah Sriwijaya yang diteliti oleh ‘sang ahli bahasa’ ini sangat bermanfaat dan belum bisa dianggap kedaluwarsa. Naskah ini berfungsi sebagai langkah awal saat pertanyaan kesejarahan telah mulai dirumuskan. Menurut sejarawan Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, Sutan Muhammad Zain berhasil membahas sejarah dari berbagai daerah di Sumatra pada era klasik, yang peristiwanya, pengalaman serta tokoh sejarahnya pada masa itu masih dikenang dan diabadikan oleh anak bangsa saat ini. Profesor ahli bahasa ini juga dinilai telah melakukan riset yang baik, memakai literatur lengkap dan teraktual pada zamannya. Kemampuan Sutan Muhammad Zain dalam berbahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis serta bahasa Sanskerta dan Melayu klasik amat mendukung kelancaran penulisan bukunya. Sejarawan Harto Juwono menganggap Sutan Muhammad Zain adalah bukan sekadar profesor yang cermat dan teliti menyusun rekonstruksi historis Kerajaan Sriwijaya, tetapi ia juga seorang yang tekun menelusuri sumber data langka tentang kerajaan ini.
Karena pengetahuannya yang luas sebagai siswa Hoofden School, Sutan Muhammad Zain dianggap Harto Juwono mampu meneliti objek yang berbeda dengan agama dan budayanya. Ia menempatkan dirinya sebagi seorang ahli sejarah sekaligus ahli prubakala yang profesional, sejajar dengan para sejarawan modern internasional.
Bersamaan dengan penelitiannya tentang Sriwijaya, autobiografinya juga ditulis dengan tulisan tangan yang amat rapi. Cerita semasa di kampung hingga mengikuti anak sulungnya di Jerman sebagai Duta Besar Indonesia terdiri dari 17 bab. Patut dikagumi bahwa seseorang menulis pada usia 70 tahun masih bisa rinci dan cermat mengingat berbagai kejadian puluhan tahun lalu. Bagaimana suasana mengaji di surau, nyaris tenggelam di kali, bagaimana ia memaksa guru untuk diajari bahasa Belanda hingga sang guru menangis haru. Ia juga bercerita berbagai adat istiadat di tanah Minang yang dialaminya semasa kecil, hingga makan durian dengan nasi kunyit, perlakuan kasar yang ia terima ketika menjadi guru di Makassar, pengalaman mengajar di Leiden sebagai asisten profesor untuk para calon hakim di Hindia Belanda, juga kenangan uniknya mendoakan kematian RM Sarwedo anak Patih Pakualam di Yogyakarta yang bersekolah di Delft. Persinggahannya di beberapa negara dalam perjalanan pulang ke tanah air dengan kapal laut juga dikisahkan dengan menarik dan penuh warna.
Sayangnya, naskah yang pernah diajukan ke sebuah penerbit tak kunjung kabar, dan ketika pihak keluarga menjadikan buku, tinggal sembilan bab yang tersisa. Selebihnya terbawa banjir yang pernah melanda Jakarta.
Saat Sutan Muhammad Zain masih ingin menambahkan penelitiannya tentang Sriwijaya di Universitas Waseda Jepang pada tahun 1962, ia pingsan di Bandara Haneda dan wafat di negeri itu. Pria yang juga disebut Ungku (kakek) oleh seluruh keluarga besar yang sangat mencintainya, pergi dengan membawa contoh yang baik dan nyata kepada ketujuh anaknya, menantu cucu cicit seluruh keturunannya. Ia seorang yang humoris dan penuh cinta kasih, halus budi dan tak pernah tidak mengingatkan seluruh keluarganya untuk selalu belajar, menggali wawasan, menuntut ilmu tiada henti.
Kedua buku yang terakhir ditulisnya menjelang akhir hayatnya, autobiografi Kenangan Peralihan Masa serta Sriwijaya dan Kerajaan-Kerajaan di Sumatra Era Klasik adalah proyek bangsa yang patut dibanggakan. Dari kedua karyanya terakhir lebih dari setengah abad silam inilah tercermin bagaimana seorang putra Indonesia memiliki wawasan luas, dedikasi tinggi dalam memajukan negerinya lewat kemampuan tulis menulis yang ia miliki. Warisan terpelajar Profesor Sutan Muhammad Zain terbukti pula pada seluruh keturunannya, yang juga berhasil ‘menjadi orang’ hingga kini di berbagai instansi pemerintahan maupun di perusahaan swasta.
https://entertainment.kompas.com/read/2017/10/19/075122810/mengenal-prof-sutan-muhammad-zain