SEJARAH mencatat, beberapa budaya menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Kehadiran dan eksistensinya dianggap sebelah mata.
Menjadi perempuan seperti menjadi manusia yang tercerabut kualitasnya. Tentu saja pandangan ini dikonstruksi oleh lelaki yang ingin melanggengkan dominasi kuasanya pada perempuan.
Namun, bagi lelaki yang memiliki kenangan indah dan berharga dari perempuan dalam hidupnya, ingatan masa kecil bisa tertuang dalam cerita dan gambar yang penuh penghayatan, dan indah.
Kenangan masa kecil pada perempuan-perempuan yang membuatnya hidup, dan "hidup lagi" inilah yang menjadi spirit film Alfonso Cuaron, Roma (2018).
Roma menjadi ode, penghormatan, dan terima kasih pada perempuan-perempuan perkasa.
Sudah lumrah bagi keluarga menengah-atas mempunyai asisten rumah tangga. Bisa satu atau dua. Umumnya perempuan dari kampung, dari keluarga pra-sejahtera karenanya kurang pendidikan.
Demikian juga di keluarga pasangan dokter Antonio dan Sofia dengan empat anak yang tinggal di distrik Roma, di ibu kota Mexico, pada 1971.
Cuaron cukup berbesar hati dengan tidak jelas-jelas menunjuk anak yang mana yang mewakili dirinya dalam film itu.
Mungkin juga dia ingin mengatakan ini adalah ingatan kolektif semua anak yang mengalami kondisi broken home dan potongan-potongan ingatan pada perempuan-perempuan yang menggantikan peran ayah yang absen.
Mozaik ingatan kolektif itu yang Cuaron coba konstruksi ulang dalam film dengan format hitam-putih ini.
Sementara pikiran Sofia disibukkan dengan permainan kucing-kucingan Antonio yang berselingkuh, serta perilaku suaminya yang tahunya mau beres.
Urusan domestik mengurus anak ditangani oleh asisten rumah tangga bernama Cleo (dalam kisah hidup sungguhan Cuaron, perempuan itu bernama Libo). Cleo mencuci dan menyetrika pakaian, memasak, membangunkan tidur, sampai memunguti tahi anjing di garasi. Begitu setiap harinya, sejak ayam belum berkokok sampai mematikan lampu untuk tidur.
Film dibuka dengan gambar pesawat melintas di antara dua bangunan hitam. Setelah beberapa detik, layar terliat blur. Rupanya gambar pesawat bergerak adalah refleksi di lantai dan blur karena lantai disiram untuk dibersihkan. Adegan kemudian adalah perempuan yang membersihkan tahi anjing di lantai garasi itu.
Adegan rutinitas harian Cleo muncul dalam scene yang berulang, walau dalam angle yang berbeda, seolah ingin mengatakan ketekunan dan loyalitas Cleo pada keluarga majikannya. Dari situ terbangun kedekatan anak-anak pada Cleo.
Semua ditampilkan Cuaron dengan seperti peristiwa sepele sehari-hari, yang sepintas tak punya sangkut paut dengan suatu revolusi atau peristiwa heroik.
Mengingat nama besar Cuaron dalam perfilman dunia, publik mungkin berharap sutradara asal Mexico itu menghasilkan film sejarah nan gigantik, yang berhubungan dengan suatu peristiwa penting.
Setidaknya, Roma diharapkan serupa film besutan Cuaron lain, seperti kisah fantasi Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004), atau fiksi ilmiah Gravity (2013) yang membuat dia menjadi sutradara terbaik peraih Piala Oscar.
Sadar atau tidak, pemain bukan seperti sedang berakting di depan kamera, melainkan membawa kehidupan dalam layar film, senatural mungkin. Cerita bersahaja yang diceburkan dalam kisah duka kehidupan. Namun, tiada kehidupan tanpa kemelut. Dengan premis kemelut itulah sumber ketegangan, hidup Cleo mengalir dari satu ketegangan ke tegangan yang lain.
Untuk mendapatkan kenaturalan yang ultima, Cuaron memberi script, skenario, ke pemain sesaat pengambilan gambar akan dimulai. Sehingga, menurutnya, setiap respons pemain karena interaksi di lapangan dengan pemain lain, dengan fenomena apa pun yang muncul saat itu adalah tindakan langsung, direct action, tanpa dipikir-pikir, tanpa referensi atau memori masa lalu.
Diperankan aktris debutan
Adalah pilihan yang tepat, tokoh Cleo diperankan oleh aktris debutan Yalitza Aparicio, gadis keturunan Indian-Mexico yang berwajah khas. Wajahnya pas untuk menampakkan keluguan, loyalitas, juga kerja keras, serta wajah memelas.
Dalam kehidupan sesungguhnya di luar film, Yaliza adalah anak seorang asisten rumah tangga, sehingga bisa dipahami jika ia bisa menjiwai peranannya "dengan sempurna".
Dari pendidikan yang kurang dan kepolosan Cleo, dia seperti terperangkap dalam "kutukan kelas"-nya yang seperti tergantung dan tidak bisa lepas dari keluarga Sofia.
Secara halus, Cuaron menyinggung soal ketimpangan kelas, seperti dalam teori pembangunan, hubungan negara maju-negara dunia ketiga, dan relasi kuasa, di mana negara dunia ketiga yang sangat tergantung pada negara kaya.
(Sebagai catatan, bagian di bawah ini mengandung spoiler yang mungkin membuat Anda yang belum menonton film Roma merasa tidak nyaman.)
Berturut-turut Cleo digempur duka, ditinggalkan Fermin pacarnya, lelaki penyuka bela diri, dalam keadaan hamil. Belakangan kita tahu, Fermin bergabung dengan latihan milisi pemuda bela negara ala tentara di kampungnya.
Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri perselingkuhan tuannya, Antonio. Pelatihan pemuda bela negara dengan instruktur yang berpenampilan pemimpin spiritual penuh delusi.
Tahun-tahun itu Pemerintah Mexico berhaluan populis liberal yang membuka lebar untuk investasi Amerika Serikat dan kerja sama militer. Pelatihan paramiliter itu adalah pelatihan pemuda elite Los Halcones yang disokong penuh oleh Amerika untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa.
Suasana sosial-politik yang ketika itu banyak juga dialami negara Amerika Selatan, sebagai ekses dari pola pembangunan yang bertumpu pada industri negara maju, negara dunia pertama.
Lewat kerja sama dan investasi mereka di negara dunia ketiga, seperti Asia Afrika, dan juga Amerika Latin, berakibat memarginalisasi sistem ekonomi pertanian. Alih-alih membantu, pembangunan dan investasi industri dari negara maju malah menyerap habis pontensi kekayaan alam dan hasil pertanian Amerika Latin.
Kondisi yang menjadi pemantik lahirnya dependency theory ala Paul Baran, Andre Gunder Frank, dan lain-lain. Teori kerergantungan ini dengan halus dan subtil disampaikan Cuoron lewat hubungan Cleo dan Fermin, lewat pelatihan paramiliter, lewat Tuan Antonio, dan keberadaan Cleo dalam keluarga Nyonya Sofia.
Tubuh, sebagai bagian yang paling sentral, elemen yang yang tak bisa dihilangkan dalam manusia, dalam budaya phalosentris, patriarkis, seperti yang dialami Cleo, jelas terlihat, menjadi sesuatu yang lemah dan mudah sekali dikorbankan.
Hubungan yang intim dan penuh kasih antara Cleo dan anak-anak dalam dialog yang hangat dan sinematografi yang aduhai indahnya... seperti ingin menghaluskan persoalan ketimpangan relasi kelas itu.
Betapa lemahnya posisi orang seperti Cleo pada majikannya yang menolong membawakan ke rumah sakit untuk melahirkan.
Sutradara sekaligus sinematografer
Selain menyutradarai, Cuaron pun memegang sinematografi. Dari paduan cerita dan dialog yang menyentuh serta gambar hitam putih ala foto-foto karya Cartier Bresson yang bergerak menjadikan Curon seperti membuat genre sendiri, sebut saja realisme spiritual yang berbeda dengan generasi sutradara Mexico sebelumnya yang banyak menelurkan film dengan sebutan magic realism.
Cobalah perhatikan adegan percakapan Cuaron dengan salah satu anak di bawah jemuran. Juga adegan di dalam toko perlengkapan bayi saat terjadi demonstrasi mahasiswa, saat kamera menangkap adegan demo dilihat dari atas dan di dalam toko sampai milisi pemuda yang dipersenjatai pemerintah mengejar mahasiswa demonstran, dan menembak mati para mahasiswa di depan Cleo, dan penembak itu adalah Fermin, sungguh dramatis.
Atau scene setelah ibu mengajak anak-anak ke pantai sementara bapaknya menguras barang-barang untuk dibawa ke rumah madunya. Dan ketika semua mendapatkan rumahnya kosong.
Atau adegan ketika Cleo melahirkan, kamera mengambil dari samping. Cukup lama camera statis menangkap tubuh Cleo yang sedang memperhatikan anaknya sebagai background yang keluar dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Suasana keterpisahan seperti saat kematian ini dalam shot yang cukup lama. Sinematografi Cuaron dapat menampilkan kematian dengan elegan.
Adegan penuh haru biru adalah ketika di pantai, semua anak berenang di laut dan Cleo yang tidak bisa berenang mendapat tugas dari ibu Sofia untuk menjaga anak-anak.
Dua dari anak terbawa arus ke tengah. Camera mengikuti dari samping pergerakan Cleo menolong dua anak majikannya. Anak yang selamat seperti anak yang lahir kembali.
Kita, penonton, seperti ikut kelelep tertelan ombak dan kehabisan nafas bersama kamera. Liris. Dahsyat. Mungkin saja salah satu anak yang selamat adalah Cuaron.
Agaknya scene itu menjadi puncak dan sarana melepas kegundahan hati Cleo. Bahwa dia mengaku, mensyukuri anak yang dilahirkannya mati.
Lepaslah beban psikis dan mental mengandung sembilan bulan lebih namun ditinggalkan lelaki yang menghamilinya. Kelahiran sebagai "alat" bagi pembebasan diri. Seperti gambar pembuka film: pesawat yang lepas landas, bergerak terus meninggi.
Film ditutup dengan tulisan "Para Libo", untuk Libo, untuk Cleo, perempuan perkasa dari Roma.
Dari Roma, lewat Cleo, Cuaron beresonansi, tidak hanya berbicara tentang kisah duka anak-anak dalam perkawinan yang terpecah, tapi ia juga mempertanyakan kebertubuhan perempuan dalam dunia laki-laki, tentang ketimpangan kekuasaan dan perjuangan kelas.
Resonansinya melewati Roma sebagai sebuah kampung di tengah kota, tetapi juga ke seluruh negeri Mexico, dan ke segala penjuru dunia, karena kisah Cleo dekat dengan kita.
(*Yudhi Widdyantoro, Praktisi Yoga dan Penikmat Film)
https://entertainment.kompas.com/read/2019/02/19/170308110/cleo-si-perempuan-perkasa-roma