Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perempuan, Cengkih, dan Erni Aladjai

Bisa saja nama-nama sastrawan Sulawesi macam Aan Mansyur dan Faisal Oddang jauh lebih dikenal hingga berkibar-kibar di halaman pertama harian Kompas, meski Erni sebetulnya sudah cukup lama menulis di berbagai media dan menerbitkan buku.

Sayangnya, Erni adalah seorang penulis yang underrated, yang kurang diperhatikan, meski karyanya sangat bersinar-sinar.

Karya-karyanya sudah lama harus ditarik dan didorong ke barisan depan dan dijadikan kosa kata sastra Indonesia.

Novelnya berjudul "Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021) adalah pemenang ke-3 Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta ketika masih berbentuk naskah awal.

Kini naskah itu sudah mengalami perombakan dan penyuntingan yang ketat dan menjelma menjadi novel bercahaya dan sudah selayaknya dirayakan.

Erni memulai novel ini dengan setting tahun 1950 di desa fiktif Kon, nun di timur Indonesia, ketika tubuh "Markeba Tikore ditemukan tergantung dengan lilitan kain di pohon cengkih."

Cengkih, seperti diutarakaan Lily Yulianti Farid, penulis dan peneliti Monash Indigenous Studies Centre di Monash University, di dalam novel ini bukan sebuah eksotisme. Di bagian timur Indonesia, cengkih adalah lambang kehidupan.

Erni Aladjai dengan cerdas sesekali mengisahkan nilai cengkih di jaman Belanda dengan kilas balik dan bagaimana cengkih menjadi sesuatu yang penting bagi tokoh utama Haniyah, Ala, dan seluruh petani di Desa Kon.

Tak heran jika cengkih bukan saja menjadi sumber mata pencaharian warga Kon, tetapi juga menjadi lambang pencarian Ala tentang masa lalu desanya.

Kelak, si kecil Ala akan selalu menantikan aroma yang datang dari tubuh "anak lelaki berbau cengkih".

Anak lelaki bernama Ido itu bertindak seperti pendongeng macam tokoh Sherazat dalam Dongeng 1001 malam yang perlahan mengungkap tentang asal-usul dirinya yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah Kampung Kon yang penuh misteri.

Erni juga memperkenalkan berbagai tokoh di dalam desa, sang guru Hijma yang membiarkan murid-muridnya merundung Ala karena mata yang juling; atau beberapa kisah tentang kekerasan, atau kisah sepasang suami istri yang ditembak mati dan bayi mereka di antara tumpukan cengkih tetap hidup.

Menurut Lily Yulianti Farid, di antara semua kisah itu, tentu saja Haniyah paling menarik karena sangat menggambarkan pandangan penulisnya.

"Tokoh Haniyah adalah seseorang yang percaya bahwa setiap benda mati tidak pernah mati,” kata Lily mengutip dialog Haniyah pada anaknya.

"Bubungan, kayu, kasau, atap, lantai papan semuanya 'bernyawa', mereka bertahan, sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir..."

Ini bukan saja menunjukkan kekuatan sosok Haniyah sebagai ibu yang melindungi anaknya dari segala petaka, melainkan kekuatan empat generasi perempuan turun temurun yang sengaja ditampilkan Erni tanpa memberi perhatian pada peran suami mereka.

Erni seolah sengaja menciptakan tokoh-tokoh perempuan dengan "absennya" para lelaki di dalam keluarga besar rumah Teteruga.

Sebagai pembaca, baik Lily maupun saya tak terganggu dengan absennya para lelaki di keluarga besar itu. Para lelaki tampil sebagai sosok unik di luar keluarga, seperti Naf Tikore atau Ido.

Pada akhir novel, Erni memasuki masa Orde Baru di saat pemerintah kemudian mengacak sistem yang sudah ada. Nasib para petani cengkih, termasuk keluarga Haniyah dan Ala kemudian terpuruk.

"Bagian ini, menurut saya agak mulai melakukan pendekatan jurnalistik,” demikian Lily mengkritik, karena "Erni mulai sibuk mengajukan rangkaian fakta.”

Bagaimanapun, Lily dan saya bersama-sama menganggap novel ini bukan saja bagus dan wajib dibaca. Erni menunjukkan kecerdasannya sebagai pendongeng ulung.

Podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode Lily Yulianti membahas karya Erni Aladjai ini bisa ditemukan di Spotify.

https://entertainment.kompas.com/read/2021/05/26/070200666/perempuan-cengkih-dan-erni-aladjai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke