Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Melupakan Luka Sejarah

Kompas.com - 05/04/2008, 08:39 WIB

BANDUNG, JUMAT - Menghapus luka-luka sejarah dan mencoba melakukan pemikiran ulang kembali terhadap makna persatuan dari sebuah bangsa yang bhineka menjadi bagian penting dalam membangun kembali Indonesia yang utuh di masa mendatang.

Sudah saatnya pula gerakan kebudayaan menjadi pendorong lahirnya sebuah konsep hidup bersama sebagai bagian dari strategi kebudayaan dalam kehidupan bersama yang berkelanjutan. Demikian benang merah yang terungkap dalam Perbincangan Kebudayaan bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X dengan Ajip Rosidi di Ballroom Hotel Preanger, Bandung, Jumat malam.

Perbincangan yang menghadirkan kedua tokoh ini merupakan bagian dri rekonsiliasi sejarah yang pertama, yang diharapakan jadi pintu masuk rekonsiliasi nasional. Dalam orasi budayanya, Sri Sultan menyoroti bahwa bangsa Indonesia lebih mendorong terciptanya sebuah kebersamaan tanpa mengutamakan ego dari keakuan dan kekamian yang masih sangat kuat. Subkultur-subkultur budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, seharusnya menjadi alat untuk membangun sebuah bangsa yang besar.

"Subkultur-subkultur itu sekarang ini masih mengutarakan keakuannya untuk aku dan kekamiannya untuk kami. Kenapa keakuan dan kekamiannya itu tidak untuk kita sebagai bangsa Indonesia," katanya. Menurut Sri Sultan, konsep kekitaan itu lah yang justru menjadi kunci dalam membangun menjadi bangsa yang besar. "Kenapa kita harus berbicarkan kelompok lebih diutamakan dari pada kita. Justru keakuan dan kekamian itu seharusnya diabdikan untuk kita sebagai bagian dari entitas bernama Indonesia," katanya.

Sementara menurut budayawan Ajip Rosidi, kelemahan bangsa Indonesia hingga saat ini lebih karena bangsa ini selalu melihat ke belakang dan sering meyakini mitos-mitos yang melatarbelakangi sebuah peristiwa sejarah. Ini juga yang kemudian melekat hingga kini terkait hubungan antara masyarakat Jawa dan Sunda, yang memiliki sejarah panjang yang tak pernah dilepaskan dari peristiwa perang bubat.

"Banyak mitos yang sepenuhnya tidak benar. Makanya diperlukan peninjauan-peninjauan sejarah untuk meluruskan mitos-mitos yang ada itu," katanya. Ketidakharmonisan dan perpecahan yang kerap muncul, lanjut Ajip, lebih karena hubungan-hubungan bermasyarakat tersebut dibangun berdasarkan cerita-cerita dan mitos yang sebenarnya tidak terbukti kebenarannya. "Kesalahan kita sebagai bangsa adalah selalu melihat ke belakang dan seringkali terjebak dengan cerita atau mitos yang belum tentu kebenarannya," ujarnya.

Perbincangan kebudayaan yang menghadirkan Sri Sultan dan Ajip, yang diprakarsai Ekayastra Unmada, jaringan wartawan lintas media ini, dianggap menjadi momen penting sebagai bagian rekonsiliasi kebudayaan dalam upaya membangun kembali sebuah entitas bernama Indonesia.Yang cukup menarik dari perbincangan antara dua tokoh budaya ini adalah sambutan masyarakat Bandung yang cukup hangat. Animo masyarakat terlihat dari ruangan yang dipadati tamu undangan, yang terpaksa duduk lesehan untuk bisa menyimak perbincangan kedua tokoh tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com