Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uyung Pun Menangis di Panggung

Kompas.com - 04/07/2008, 02:34 WIB

Saya biasa memanggilnya Uyung. Konon dari kata Buyung, karena ia anak laki-laki keturunan orang Minang. Nama yang tercantum di KTP-nya adalah Henry Surya Panguji. Dialah komandan kelompok musik Mahagenta yang baru menggelar konser berjudul The Phantom of the Traditional Opera di  Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (3/7).

Usai pergelaran, Uyung mengajak semua pendukung konsernya berdiri di atas panggung menghadap penonton. Lalu, dengan terbata-bata, Uyung pun mengucapkan terimakasih kepada para penyokong konsernya.

Uyung memang pantas terharu. Sebab, dengan modal seadanya, ia bisa menggelar konser yang lumayan spektakuler untuk ukurannya. Maklumlah, Uyung bukanlah Addie MS, Andy Rianto atau musisi kondang lainnya yang memiliki jaringan relasi "bisnis" untuk mendukung konsernya. Karena itu, pada leaflet yang dibagikan kepada penonton, tak ada satu nama produk pun yang tertera sebagai sponsor.

Uyung memang pantas menangis dalam syukur. Oleh sebab itu, ia pun menyebut nama Tuhan dan ibundanya sebelum berkata-kata lebih jauh. Sebab, hanya dengan kehendakNya, konser besar itu bisa terlaksana.

Kendati namanya belum berkibar-kibar di ranah musik Indonesia, tapi Uyung bukanlah anak kemarin sore, khususnya di dunia musik non industrial. Sudah puluhan panggung ia jelajahi, sekali-sekala ia bersama grupnya juga muncul di televisi. Tapi inilah barangkali konsekwensi "dunia musik" yang dipilih Uyung dan Mahagenta. Musiknya yang berpijak pada semangat musik tradisi, menyebabkan Mahagenta kerap kesepian, termasuk kesepian dalam biaya. Sampai-sampai, untuk menyelenggarakan konser-konsernya, anak-anak Mahagenta harus "ngamen" di beberapa kafe dan acara mantenan.

Semangatnya yang menyala-nyala untuk mengangkat harkat musik tradisi (khususnya Indonesia) itulah yang membuat saya kerap terharu jika menyaksikan Mahagenta konser. Bayangkanlah, ketika para musisi berlomba-lomba mengabdi pada pasar, dengan menjiplak dan memirip-miripkan lagu yang sedang atau pernah ngetop, Mahagenta justru bersusah payah mengeksplorasi musik-musik tradisional. Hebatnya lagi, Uyung melibatkan puluhan musisi dan penyanyi yang mau diajak "susah". Tapi, sejak mereka beridiri di tahun 1996 hingga kini, Uyung dan Mahagenta-nya masih betah di sana. Bahkan, mereka masih bisa senyum-senyum sampai sekarang, seperti yang mereka buktikan pada konser The Phantom of the Traditional Opera itu.

The Phantom...

Instrumen didgeridu mengalun panjang. Suaranya yang berat mengajak penonton untuk takzim mengikuti aliran konser Phantom of the Opera yang digelar Mahagenta. Layar lapis pertama pun terbuka pelan-pelan.

Didgeridu adalah alat musik asli masyarakat Aborigin. Oleh masyarakat yang mendiami Australia Utara instrumen ini disebut yidaki. Alat musik kuno yang terbuat dari kayu keras ini memiliki panjang di atas 1 meter dengan diameter sekitar 3cm di bagian tiup serta 13 cm di ujungnya, termasuk dalam jenis alat musik tiup.

Henri Desmal, si peniup didgeridu, lalu berputar menebarkan suara. Disambut oleh petikan sitar India yang dimainkan Uyung. Sayang, produk suara yang dikeluarkan oleh sound system tak jernih. Tiupan didgeridu berhenti, disambung seruling dan vokal perempuan yang menyenandungkan nuansa India, lalu menyusul vokal laki-laki. Dua vokalis itu berpadu dengan lamat-lamat dengan suara gendang tembikar. Tiga menit berlalu, pemusik di panggung satu demi satu silamg ke balik panggung. Itulah akhir dari komposisi Overture.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com