Bogor, Kompas
”Dia (Suhaibi) sudah masuk (sel tahanan),” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Ajun Komisaris Muhammad Santoso.
Santoso menjelaskan, penyidik sudah memiliki cukup bukti untuk memastikan tersangka melanggar Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), yang ancaman hukumannya lima tahun penjara. Bukti-bukti cukup itu diperoleh dari keterangan 10 saksi, termasuk pelapor Cici Paramida dan surat keterangan visum dari dokter Rumah Sakit PMI Bogor.
”Tersangka kami tahan, selain undang-undangnya memungkinkan, juga agar proses hukum ini dapat berjalan cepat sampai ke pengadilan,” kata Santoso.
Suhaibi, sebelum menjalani penyidikan lanjutan yang kemudian ditahan, sempat membuat laporan polisi pada sorenya. Ia melaporkan enam laki-laki yang bersama Cici Paramida saat insiden di Cisarua pada Minggu 14 Juni. Cici tidak termasuk orang yang dilaporkan Suhaibi.
Dalam laporannya, Suhaibi menuduh enam laki-laki melakukan perbuatan tidak menyenangkan, pencurian, perampasan, dan percobaan pembunuhan.
”Barang apa yang dicuri atau dirampas dari pelapor, kami belum tahu karena laporannya belum kami lakukan proses berita acara. Fokus pemeriksaan dan penyidikan hari ini terhadap yang bersangkutan baru pada posisi yang bersangkutan sebagai terlapor pelaku KDRT,” katanya.
Secara terpisah, Zulhendri Hasan, kuasa hukum Suhaibi, menyatakan kekecewaannya kepada Polres Bogor yang menahan
Sehari sebelumnya, persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapi Cici Paramida
”Tidak semua orang mengerti bahwa kekerasan di dalam rumah tangga itu bisa dilaporkan dan ada undang-undangnya. Saya juga menyayangkan, walaupun UU-nya sudah ada, sering kali tidak digunakan oleh penegak hukum,” ujar Meutia.
Namun, Meutia juga berpesan agar setiap perempuan berpikir ulang mengenai cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Cara pandang laki-laki yang berulang kali menikah terhadap perempuan tentu berbeda dengan cara pandang laki-laki yang sekali menikah dan untuk selamanya.
”Jika memang ada kendala, lebih baik tidak dilakukan perkawinan. Lebih baik menangis selama dua minggu daripada menangis seumur hidup,” ujarnya. (rts/ARN/NEL)