Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Lima Tahun Pascagempa-Tsunami Aceh

Kompas.com - 23/12/2009, 02:59 WIB

Beberapa detik sebelum pukul 08.00 tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa dahsyat berkekuatan lebih dari 9 skala Richter di Aceh. Gempa mahadahsyat ini kemudian menimbulkan tsunami yang menelan korban lebih dari 200.000 jiwa.

Peristiwa itu hampir lima tahun berlalu, tetapi ingatan terhadap bencana hebat itu masih kuat terpatri, melahirkan perasaan tercekam, haru, sekaligus juga kesadaran baru terhadap alam, khususnya alam Indonesia yang berada di kawasan Cincin Api Dunia.

Ya, kesadaran baru itu lahir karena setelah Aceh, Indonesia seperti tak henti-henti dirundung gempa, dari Yogyakarta 27 Mei 2006 hingga gempa Padang, Sumatera Barat, 30 September 2009.

Dalam perspektif keilmuan, pemahaman masyarakat luas terhadap masalah gempa semakin meningkat. Apresiasi terhadap ilmu kegempaan, geologi, dan seismologi juga meningkat. Pelampung detektor tsunami juga telah dipasang di sejumlah laut. Mitigasi (upaya untuk meminimalkan dampak bencana) pun, meski belum luas dan sering, sudah mulai dilakukan.

Di luar pengalaman dan kearifan baru ini, satu hal yang terus saja akan mengikuti perjalanan bangsa Indonesia adalah keniscayaan bahwa gempa bumi akan terus hadir di wilayah ini, jarang atau sering, besar atau kecil.

Kini pun, ketika mengenang lima tahun gempa Aceh, kita diingatkan lagi akan kemungkinan terjadinya gempa besar di Tanah Air.

”The Big One”

Ini adalah istilah yang sering muncul di kalangan warga California, Amerika Serikat, terkait dengan gempa yang dipicu oleh pergerakan Patahan San Andreas yang termasyhur itu. Namun, istilah ”The Big One” juga kini banyak diungkapkan untuk melukiskan bakal terjadinya gempa besar di satu wilayah di Tanah Air.

Dalam laporannya yang dimuat kantor berita Reuters, Senin lalu, Michael Perry mengutip pernyataan peneliti dari Observatorium Bumi yang berpusat di Singapura, Kerry Sieh. Di sana disebutkan bahwa salah satu lokasi paling rawan gempa saat ini adalah di pantai barat Pulau Sumatera.

Kekuatan gempa yang diperkirakan berpotensi terjadi di bawah Kepulauan Mentawai ini bisa mencapai 8,6 skala Richter sehingga juga berpotensi menimbulkan tsunami. Dari sisi kekuatannya memang belum akan menyamai gempa Aceh tahun 2004. Namun, para ahli mengingatkan, dampaknya bisa sama hebat mengingat ia juga akan menghantam wilayah yang padat penduduk.

Gempa yang dimaksud diramalkan terjadi di bawah Pulau Siberut, sepanjang pusat desakan yang dikenal sebagai Sunda Megathrust. Ini adalah front di mana Lempeng Tektonik Indo-Australia mendorong Lempeng Eurasia dan merupakan salah satu garis patahan paling aktif di dunia.

Hanya saja, seperti telah sering dikemukakan sebelum ini, kapan persisnya dorong lempeng tektonik itu akan mewujud menjadi gempa, tak seorang pun hingga kini yang bisa mengetahui waktunya dengan pasti.

Kerry Sieh sendiri hanya bisa menyebut waktu yang mungkin adalah dalam beberapa dekade ke depan. Ia mendasarkan ramalannya dari catatan geologi selama 700 tahun terakhir, yang memperlihatkan bahwa gempa-gempa besar di Sunda Megathrust terjadi setiap kurun 200 tahun. Pada masa lalu, gempa besar di Megathrust terjadi pada akhir tahun 1300-an, tahun 1600-an, serta antara tahun 1797 dan 1833.

Lalu mengapa Siberut? Ini, menurut Kieh, karena satu seksi Megathrust di bawah Siberut belum robek selama 200 tahun, hingga ia tinggal menunggu waktu sebelum robek menjadi gempa besar.

Adaptasi dan mitigasi

Menjelang peringatan lima tahun gempa dan tsunami Aceh akhir pekan ini, pelbagai informasi dan pengetahuan mengenai bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, telah banyak disampaikan ke tengah masyarakat.

Kini, dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran yang meningkat, masyarakat Indonesia semestinya dapat mempersiapkan diri lebih baik dalam menghadapi bencana alam yang akan datang. Kalau dalam penanganan gempa kemarin masih diungkapkan kelemahan manajemen penanganan bencana, ini pun termasuk hal yang harus menjadi perhatian.

Selebihnya, kearifan yang diharapkan bisa terus dikembangkan adalah kemampuan beradaptasi hidup di kawasan bencana dan melakukan mitigasi atau berlatih untuk menghadapinya.

Dalam berbagai kesempatan dikemukakan bahwa salah satu wujud adaptasi adalah mengkaji ulang bangunan, apakah konstruksinya sudah cukup memadai untuk menghadapi gempa. Selain bangunan, wujud adaptasi adalah memasang perlengkapan pemantau yang memadai. Mengingat Indonesia perlu banyak peralatan pemantau tsunami (mulai dari pelampung di laut, satelit pemancar ulang, hingga stasiun pemberi peringatan darat), di sini kita pun perlu membangun kemampuan sendiri. Kepala Balitbang Departemen Pertahanan Lilik Hendrajaya pernah menyebutkan bahwa kemampuan membuat pelampung tsunami sudah dimiliki dan bila kabupaten di wilayah tsunami berkeinginan memasang peralatan ini, hal itu bisa diwujudkan dengan biaya relatif terjangkau.

Salah satu komitmen adaptasi lainnya adalah memberikan beasiswa bagi orang muda yang terpanggil untuk mendalami ilmu geologi dan seismologi mengingat selama ini minat untuk mempelajari ilmu-ilmu ini masih terbatas dan jumlah ilmuwan ahli gempa juga masih sedikit.

Dengan sudut pandang inilah kita ingin mengenang lima tahun gempa dan tsunami Aceh, disertai harapan Indonesia dalam kesiapan lebih baik manakala harus menghadapi datangnya ”The Big One”, apakah itu di pantai barat Sumatera atau di tempat lain. Dari sini pula akan tecermin, seberapa sungguh-sungguh kita menjadi bangsa pembelajar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com