Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Akulturasipada Baju Koko

Kompas.com - 04/09/2010, 04:45 WIB

Ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arif Akhyat, menunjukkan foto-foto tua yang memperlihatkan baju koko dipakai kaum Muslim Tionghoa sejak tahun 1875.

Lebih dari sekadar gaya pakaian, baju koko mencerminkan perjuangan Muslim Tionghoa dalam membentuk identitasnya sebagai Tionghoa sekaligus pemeluk Islam. Saat itu, Belanda mencegah mereka memeluk Islam karena tak ingin ada kedekatan antara Tionghoa dan Muslim pribumi. Kedekatan ini dikhawatirkan bisa memicu perlawanan.

Jadi, baju koko dikenakan untuk menyiasati politik divide et impera Belanda. ”Untuk menghindari kecurigaan Belanda, Muslim Tionghoa memakai baju itu setiap kali ke masjid. Dengan begitu, mereka mempertahankan identitas Tionghoa sekaligus menyesuaikan dengan Islam,” kata Arif.

Menurut desainer Itang Yunasz, baju koko dengan baju Tionghoa sama-sama berkerah model shanghai. Istilah ”koko” mungkin dari panggilan pria dewasa Tionghoa, yaitu engkoh- engkoh, kakak, atau koko. ”Sekarang, banyak model koko yang tak berkerah shanghai. Ada yang berkerah bundar atau malah tanpa kerah,” ucapnya.

Beberapa model busana China lain juga diserap sebagai busana muslim. Di Sumatera Barat, ada celana gunting cino, yaitu celana komprang bermotif batik, yang dipakai ke masjid. Di daerah pantai utara Jawa, ada baju takwa, hasil perpaduan tui-khim dengan pakaian tradisional Jawa atau surjan. Ciri khasnya, baju berkerah tegak dengan lengan panjang mirip jas jawa. Konon, baju ini hasil kreasi Sunan Kalijaga.

Di luar pengaruh China, ada lagi baju tradisional lokal yang juga dianggap sebagai baju muslim. Di Jambi, ada tutup kepala berbahan songket dan batik. Masyarakat tradisional Aceh punya tutup kepala khas berupa selendang yang dililitkan di kepala atau bahu.

Akulturasi

Adaptasi baju koko menjadi busana muslim, kata Arif Akhyat, menggambarkan akulturasi, keluwesan, dan toleransi Islam dalam menyerap budaya lokal. Berbagai budaya bertemu, menyatu, tanpa saling menghilangkan. ”Budaya asing tidak saja dihargai, tetapi juga diambil sebagai bagian dari budaya Islam. Tentu, asal tak bertentangan dengan ajaran Islam,” katanya.

Bagi pakar budaya tekstil Sativa Sutan Aswar, identifikasi agama melalui pakaian melibatkan proses sosial dan budaya yang pelik. Semula, baju tersebut dipakai saat beribadah karena dianggap sopan dan nyaman di tengah iklim Indonesia. ”Lambat laun dianggap sebagai busana muslim,” tuturnya.

Identifikasi agama lewat busana patut dicermati karena bisa menimbulkan eksklusivisme lewat berpakaian. Cukup memakai pakaian tertentu, seseorang lalu dianggap sebagai anggota kelompok tertentu.

Tanpa memahami esensi pakaian, booming busana muslim seperti baju koko dapat mendangkalkan penghayatan agama. Hanya dengan memakai baju yang identik sebagai busana muslim, orang lantas merasa pantas telah jadi Muslim yang baik. ”Padahal, kemusliman seharusnya dibuktikan dengan sikap dan perilaku, bukan sekadar dengan busana,” kata Sativa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com