Stigma Yogyakarta sebagai kota malapetaka terasa menyakitkan bagi warga Yogyakarta dan mengusik sendi-sendi kehidupan sebagai kota budaya, kota wisata, dan kota pendidikan. Hanya karena sedang tertimpa musibah gunung meletus yang seharusnya mendapat empati secara luas, tetapi mengapa Kota Yogya divonis sebagai kota malapetaka? Stigma ini tentu saja tidak bisa lepas dari media yang memiliki kemampuan memproduksi realitas, termasuk memproduksi stigma.
Fungsi lain dari media massa adalah sebagai social control terhadap kebijakan negara maupun terhadap dinamika kehidupan masyarakat. Media massa menjadi penyeimbang jika terjadi kesenjangan antara kebijakan negara dan kepentingan masyarakat. Media massa juga menjadi alat mediasi jika terjadi ketimpangan sosial antarwarga masyarakat. Akan tetapi, media massa sering gagal melaksanakan fungsinya karena media massa sering menjadi ”pemain” atau melaksanakan peran-peran negara.
PM Laksono (2009: 103) juga mengatakan, ”Mereka (media) berada dalam satu posisi dengan negara. Mereka melihat permasalahan secara sangat konvensional, bagaikan negara melihat, yaitu dengan penyederhanaan dan regimentasi. Mereka ikut-ikutan meregimentasikan persoalan ke dalam tampilan statistik dan grafis yang sangat sederhana.”
Yang banyak terjadi, media massa menjadi pengumpul bantuan untuk masyarakat korban letusan Gunung Merapi baik
Bencana meletusnya Gunung Merapi sudah sangat mengguncang kondisi kejiwaan para korban. Stres, depresi, sedih, khawatir, dan teralinasi bercampur aduk dalam diri para korban di tempat pengungsian. Di sini fungsi media sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan penanganan korban bencana sangat diperlukan. Bukannya malah memproduksi berita yang menjadi ”bencana kedua” dan makin membuat terpuruk kejiwaan korban bencana atau bahkan menyebabkan mereka bunuh diri seperti yang terjadi di Pakem dan Cangkringan, Sleman.
NUGROHO TRISNU BRATA Pengajar di Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes dan Mahasiswa Program S-3 Antropologi UGM Yogyakarta