Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkarya Haruslah dengan Jujur

Kompas.com - 28/12/2010, 02:48 WIB

Pengantar Redaksi

NAI, panggilan Djenar Maesa Ayu, rupanya sudah menyiapkan kado spesial buat ulang tahunnya, 14 Januari besok. Tepatnya pada 14-1-2011 dia akan meluncurkan buku terbarunya 1 Perempuan 14 Laki-Laki—perhatikan angkanya—sebuah kumpulan cerpen kolaborasi dengan empat belas sahabatnya.

Berangkat dari kumpulan cerpennya, Mereka Bilang Saya Monyet (Kumpulan Cerita Pendek, 2002), berlanjut dengan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Djenar menerakan tapaknya sebagai penulis novel, sekaligus penulis skenario film dan sutradara. Djenar seperti meneruskan napas seniman besar Sjuman Djaya dan aktris Tutie Kirana, orangtuanya. Identitas buah karyanya jelas. Nai menulis dengan telanjang, jujur, dan terang blakblakan, terutama dalam hubungan perempuan dan lawan jenisnya.

***

Apa yang Mbak lakukan untuk menemukan ide brilian dan unik? Apa yang membuat Mbak tergerak menulis cerita-cerita yang kontroversial? (Feni Saragih, Jatinangor)

Dear, Mbak Feni. Bukan saya yang menemukan ide, namun idelah yang menemukan saya. Sesungguhnya ide selalu ada di sekeliling kita, namun sering kali kita terlalu sibuk untuk menyadari keberadaannya. Saya pun tidak pernah dengan sengaja berkarya demi menciptakan kontroversi. Jika pada akhirnya terjadi kontroversi, saya rasa, dalam masyarakat yang demikian majemuk, pro dan kontra adalah hal yang sangat wajar dan harus terjadi.

Buku karya siapa yang menjadi rujukan dan inspirasi Anda? Sejak kapan buku itu Anda baca? (Chamad Hojin, Depok)

Semasa duduk di bangku sekolah dasar saya amat mengagumi karya-karya dongeng Hans Christian Andersen terutama yang berjudul Gadis Korek Api. Di dalam cerita itu seorang gadis kecil berhasil membangun imajinasi lewat sebatang korek api demi melupakan realitas hidupnya yang amat pahit. Sejak saat itu saya terinspirasi untuk menulis dengan menggunakan metafora. Saya mengagumi buah karya Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Ketika Anda menulis cerpen semacam ”Menyusu Ayah” dengan kata-kata yang demikian blakblakan, sebenarnya pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca? (Agus Andoko, Solo)

Saya selalu menempatkan bahasa kepada fungsinya sebagai alat komunikasi, yang berarti adalah sarana untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit/menghambat komunikasi. Jika saya memakai kata-kata yang lugas dalam berkarya, adalah pertimbangan pribadi bahwa itulah kata yang paling tepat untuk mengomunikasikan cerita saya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com