Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nurul Arifin, Metamorfosis Artis Menjadi Politikus

Kompas.com - 21/04/2011, 04:52 WIB

Nurul Arifin. Itulah salah satu dari sedikit nama yang akan muncul jika ada pertanyaan, siapakah mantan artis atau perempuan yang sekarang mampu eksis di Dewan Perwakilan Rakyat. Nama lain yang layak disebut, antara lain, Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Nurul dikenal sebagai salah satu bintang di Komisi II (membidangi pemerintahan dalam negeri) DPR. Pemahamannya yang dalam terhadap persoalan seperti pemilihan umum dan pemekaran daerah membuat anggota Fraksi Partai Golkar ini menjadi ”sosok lain” dibandingkan saat masih menjadi artis hingga pertengahan tahun 1990-an.

”Kerja keras,” ujar Nurul saat ditanya kunci keberhasilannya bermetamorfosis dari artis (panas), aktivis, dan sekarang politikus. Metamorfosis itu dimulai Nurul tahun 1997 ketika berperan sebagai dokter Halimah di sinetron Kupu-kupu Ungu. Peran tersebut mendorongnya menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS.

Dalam gerakan itu, dia menemukan ada ketidakadilan yang dialami perempuan. ”Saya lalu menjadi aktivis perempuan. Karena melihat bahwa perubahan juga harus dilakukan dari dalam, saya memutuskan terjun ke politik,” tutur Nurul.

Setelah dikalahkan oleh nomor urut pada Pemilu 2004, akhirnya Pemilu 2009 mengantarkan Nurul ke DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VII, yaitu Purwakarta, Karawang, dan Bekasi.

Metamorfosis panjang itu membuat Nurul tidak canggung duduk di lembaga legislatif. Apalagi, saat mengambil program pascasarjana di Universitas Indonesia, tesis Nurul tentang pemilu kepala daerah, sejalan dengan tugasnya di Komisi II.

Namun, tidak semua anggota DPR punya kesiapan seperti Nurul. ”Ada anggota Komisi X DPR (antara lain membidangi pendidikan) yang belum pernah kuliah. Akibatnya, saat rapat kerja dengan rektor, tidak tahu istilah perkuliahan seperti sistem kredit semester,” cerita dia.

Selama 1,5 tahun menjadi anggota DPR, menurut Nurul, juga ada anggota Komisi II yang baru satu kali bicara dalam rapat komisi. Fatalnya lagi, tidak semua yang disampaikan anggota DPR bermutu.

”Tata tertib DPR memberi kesempatan anggota DPR bicara selama tiga menit dalam rapat. Namun, ada anggota DPR yang lebih suka menonjolkan individualitasnya saat bicara. Waktu tiga menit itu habis untuk pengantar dan saat waktu ditambah, sering kali substansinya tidak jelas,” papar Nurul.

Di negara lain, pembatasan waktu bicara itu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membahas hal-hal substansial. Di Australia, anggota parlemen diberi waktu bicara 90 detik, sedangkan di Amerika Serikat selama lima menit.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com