Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barisan Perempuan Aksi di Depan Istana

Kompas.com - 21/04/2011, 05:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Barisan Perempuan Indonesia (BPI) akan menggelar "Aksi Kartini Menggugat Krisis" di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (21/4/2011).

Tujuannya, katanya, menggugat kebohongan negara terhadap perempuan. Sosialisasi aksi ini disampaikan BPI dalam keterangan pers di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jl Kembang Raya No 6, Jakarta, Rabu (20/4/2011).

Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan, ada tiga hal yang disuarakan dalam aksi itu; soal pendidikan, kesehatan reproduksi, dan masalah tenaga kerja.

"Relevansinya dengan Hari Kartini adalah kami melanjutkan perjuangan Kartini yang memperjuangkan kesempatan pendidikan bagi perempuan. Dan fakta bahwa Kartini meninggal setelah melahirkan anak pertamanya, berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi perempuan. Masalah ini masih berlanjut sampai sekarang," ujar Dian.

Dian menyampaikan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan bahwa perkawinan anak masih menjadi persoalan serius. Perkawinan anak-anak dari usia 10-15 tahun mencapai 13,40 persen, sedangkan perwakinan anak usia 16-18 tahun mencapai 33,41 persen, dan perkawinan di usia 19-24 tahun mencapai 41,33 persen.

Ruth Indah Rahayu, Ketua Perhimpunan Pekerja Perempuan, mengatakan, tingginya angka perkawinan muda di Indonesia disebabkan tiga faktor: ekonomi, budaya, dan tingkat pendidikan.

"Banyak orangtua yang menikahkan anaknya untuk mengatasi persoalan ekonomi keluarga. Lalu ada istilah lebih baik menjanda daripada jadi perawan tua. Budaya seperti ini di Indonesia masih kuat," ujar Ruth.

Ruth juga menyampaikan data dari BPS soal lama sekolah anak Indonesia adalah 7,52 tahun (angka rata-rata nasional). Di beberapa provinsi, lama anak sekolah jauh lebih rendah dari angka rata-rata nasional, misalnya Nusa Tenggara Timur (6,55 tahun), Sulawesi Selatan (7, 23 tahun), Gorontalo (6,91 tahun), dan Papua (6,50 tahun).

"Angka-angka ini menunjukkan pendidikan di kota-kota kecil rata-ratanya hanya sampai SD, SMP aja nggak lulus," tambah Ruth. Dalam hal tenaga kerja, dari segi upah, BPI mencacat para perempuan menghadapi masalah politik perburuhan, semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan yang multitafsir terhadap hak buruh perempuan.

Dari segi status ketenagakerjaan, saat ini buruh atau pekerja perempuan menghadapi sistem outsorcing, sistem kerja kontrak, sistem putting out (kerja rumahan), sehingga buruh atau pekerja perempuan tidak mempunyai jaminan pasti tentang kerja.

Dari segi fasilitas, tidak ada fasilitas bagi tenaga kerja yang sedang menunaikan fungsi reproduksi seperti haid, hamil, melahirkan, hingga menyusui.

"Dari segi diskriminasi, masih banyak perusahaan mendiskriminasi tenaga kerja perempuan yang sudah menikah yang upahnya disamakan dengan upah ketika lajang. Padahal kalau untuk laki-laki ada tunjangan untuk keluarga kalau dia sudah berkeluarga," ujar Veronica, Direktur LBH Apik, Jakarta.

"Kami mengundang pekerja media massa dan perempuan di Jakarta untuk bergabung dan mendukung aksi ini," ujar Veronica.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com