Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanam Rasa Bersalah, Cuci Otak ala NII

Kompas.com - 05/05/2011, 15:09 WIB

Kompas.com — Belakangan ini, istilah cuci otak begitu populer di media. Teknik cuci otak disebut-sebut dipakai oleh organisasi Negara Islam Indonesia (NII) untuk merekrut anggotanya. Korban pun berjatuhan. Sebenarnya, bagaimana mekanisme cuci otak ini terjadi?

Cuci otak pada dasarnya merupakan proses pembelajaran untuk memengaruhi pikiran seseorang. Dalam kasus NII, menurut dr Surjo Dharmono, SpKJ (K), proses pembelajaran itu dilakukan dalam tekanan dan dilakukan secara terus-menerus sehingga tercipta pandangan hidup yang baru.

"Karena proses pembelajarannya salah, akan tercipta pola yang salah, dan ini akan menimbulkan perasaan kacau dan labil bagi orang yang menerima pembelajaran itu," kata Surjo di sela-sela acara seminar "Mengelola Stres dan Depresi dengan Benar" di Jakarta, Kamis (5/5/2011).

Proses penanaman ideologi dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari hipnotis, ceramah, hingga proses pembelajaran. "Bila dilakukan oleh orang yang punya otoritas dan dipercaya, proses menginduksi pikiran-pikiran baru lebih mudah," kata koordinator psikiatri komunitas dari Departemen Psikiatri FKUI/RSCM ini.

Sementara itu, cendekiawan Muslim Prof Dr Jalaluddin Rahmat menyebutkan, proses cuci otak yang dilakukan suatu kelompok untuk mendapatkan anggota banyak dipraktikkan oleh kelompok yang eksklusif atau disebut dengan istilah cult (kultus).

Kelompok-kelompok tersebut melakukan proses penanaman ideologi baru dengan cara menanamkan perasaan bersalah kepada para anggotanya, yang kemudian kesalahan itu wajib ditebus.

"Setelah dibangkitkan rasa bersalah luar biasa, kemudian anggotanya diminta melakukan penebusan dosa-dosa itu, misalnya dengan menyetorkan dana. Mereka juga menyebutkan akan datangnya penyelamat dunia dan kelompok itu adalah manusia-manusia pilihan," katanya dalam acara yang sama.

Kelompok tersebut biasanya sangat eksklusif dan membatasi informasi yang bisa diterima anggotanya. "Anggota kelompok dilarang menerima informasi dari luar, bahkan pergaulan pun dibatasi. Memilih teman dan jodoh pun sudah diatur," ujarnya.

Dengan cara-cara tersebut, lambat laun akan timbul rasa ketergantungan yang tinggi pada kelompoknya sehingga akan sulit bagi mereka untuk keluar dari kelompok tersebut.

"Bila keluar dari kelompok pun, akan timbul rasa ketakutan dan sulit beradaptasi dengan masyarakat sehingga mereka jadi berbalik mendukung kelompoknya. Ketergantungan pada kelompoknya itu mirip dengan kecanduan narkoba, menimbulkan addicted," katanya.

Agar benar-benar terlepas dari kelompok semacam itu, Surjo mengatakan perlu dilakukan terapi khusus untuk mengembalikan pola pikir yang benar. "Perlu ada proses konseling psikologis yang intens," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com