”Ego mereka masih tinggi sekali. Mereka berambisi mencari poin (mendapatkan letupan tawa). Akhirnya lawakan menjadi over, tidak fokus. Menghadapi hal demikian, saya mengalah agar bisa mengontrol dan membimbing. Mana yang terasa over, saya alihkan. Saya membuka peluang bagi mereka untuk menyatu dan masuk membuat poin.”
Jojon tumbuh dalam model lawakan spontan, tanpa naskah. Dalam Jayakarta dulu, misalnya, ia dan Cahyono merancang cerita dan skenario sederhana. Di Srimulat, sistem tersebut disebut penuangan. Jojon sempat agak kikuk ketika harus masuk dalam sistem naskah di televisi. Kadang naskah tidak sesuai dengan karakter atau gaya lawakan Jojon.
Ia kadang menghadapi materi naskah yang baginya tidak mengangkat suasana, alias tidak lucu. Ia biasanya akan berembuk dengan penulis naskah, sutradara, dan produser acara.
”Kalau kita hanya mengikuti naskah, lawakan akan jeblok dan kita tidak mendapat poin....” Maksudnya, membuat orang tertawa.
Naskah di atas kertas memang penting. Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana sang komedian mengeksekusi gagasan dalam naskah itu di atas panggung. Pengalaman pentas dan kemauan Jojon untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan panggung komedi membuat pelawak asal Karawang itu terus berunjuk kumis dan celana komprangnya di pentas lawak hari ini.