Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heru "Shaggydog/Dubyouth" Pengalaman Konser di Samping Makam

Kompas.com - 26/09/2011, 15:49 WIB

Pengantar

Vokalis grup band indie asal Jogjakarta Shaggydog yang  juga duo electronic Dubyouth, Heru Wahyono, baru saja merampungkan perjalanan tur di sejumlah kota di Perancis dan Belgia dari tanggal 21 Juli hingga 13 Agustus lalu. Bersama Yowie (trombone), Heru diajak tur oleh Chinese Man, kolektif DJ asal Perancis,  untuk tampil bersama.

Sebuah perjalanan yang tak mungkin dilupakan olehnya. Beragam kisah telah dilewati dari mulai bersitegang dengan pramugari gara-gara trombone hingga pengalaman manggung di samping kuburan.  

Berawal dari daerah Sayidan, Jogjakarta, Heru menjajal Antic Theathre, salah satu teater antik terbesar yang dimiliki Perancis. 

Seperti apa kisahnya, Heru mengisahkan perjalanannya lewat catatan yang ditulisnya untuk berbagi dengan pembaca Kompas.com.  Berikut catatan perjalanan Heru "Shaggydog" kami sajikan secara bersambung.

Lanjutan dari

Show # 2: La Pleine Lune Festival (Payzac)

La Pleine Lune Festival (festival bulan purnama) di Payzac. Ya, itulah nama daerah untuk show berikutnya. Konon para kaum hippies banyak membanjiri tempat ini saat musim panas.

Dikelilingi oleh perbukitan hijau dan hutan-hutan kecil, sungai yang bening dan pemandangan indah, melewati jembatan-jembatan kuno dan sebuah kastil, bahkan saya tidak menduga bahwa ternyata di tengah-tengahnya ada festival besar dan ada kota kecilnya.

Lucunya, panggung kami bersebelahan dengan kawasan makam ala Eropa, yang bentuk nisannya besar-besar, lengkap dengan gereja kunonya. Jadi kalau mau menuju ke green room, kami harus lewat tengah-tengah kompleks makam tersebut. Awalnya memang seram, tapi begitu malam tiba, ternyata kawasan makam tersebut disulap sedemikian rupa dengan tata lampu, sehingga menjadi lebih mirip instalasi seni.

Seperti biasa, kami melakukan sound check dan sebagainya,  tapi ada kendala kali ini. Angin bertiup sangat kencang plus debu beterbangan, sehingga ada kemungkinan untuk show malam itu, giant screen untuk VJ tidak dapat dipasang. Anak-anak Chinese Man sempat gusar karena panitia tidak memenuhi 100 persen riders mereka untuk memasang penutup di setiap sisi panggung. Mereka bilang, hal-hal seperti ini terjadi juga di Perancis, kadang panitia sudah menyanggupi di depan, tapi ternyata di hari H, mereka tidak menyediakan hal-hal detail yang diminta si band. Tapi hal ini sangat jarang terjadi.

Saya sebagai musisi Indonesia hanya tersenyum mendengar cerita mereka soal komplain ke panitia yang tidak beres. Tidak heran, hehe.

Festival kali ini memang tidak sebesar di Vienne, tapi festival ini menyedot banyak massa di saat musim panas.

Di Payzac ini saya juga mencicipi, masakan Perancis yang sebenarnya, dimasak dengan tungku dan kayu bakar. Ada ikan, bebek, ayam dan sebagainya. Saya akui, rasanya agak aneh buat lidah Nusantara saya.. Oya, Bir dan anggur adalah menu standar di setiap pentas, laksana soft drink.

Seperti biasa, kami kembali ke hotel untuk istirahat sejenak dan lain-lain, hotelnya berdiri tahun 1808, bersih dan nyaman, cuma ya ketika masuk pertama agak-agak merinding juga.

Istirahat tidak berlangsung lama di hotel, tapi ya lumayanlah. Kami bergegas menuju venue yang berjarak sekitar 20 menit dari hotel, benar saja, terlihat beberapa hippies bercampur dengan orang-orang yang berangkat menuju festival di sepanjang perjalanan menuju venue.

Band-band sebelum kami pun bermacam-macam, mulai dari irish folk ala The Pogues sampai sebuah band rock ala cabaret yang mengusung instalasi besar ke panggung, dipadu dengan semacam pertunjukan opera. Orang-orang terlihat berkerumun di bar menunggu band kesayangan mereka tampil.

Oya, di setiap festival kadang terlihat penampilan brass band (trompet, trombone, dll) berjalan di antara kerumunan orang-orang. Mereka semacam melakukan musical art performance  sambil berjalan membentuk formasi, sembari mengajak orang-orang untuk berdansa. Unik.

Benar saja, seperti yang sudah diprediksi, malam itu Chinese Man tidak bisa memasang layar video mereka, dikarenakan angin yang bertiup cukup kencang. Tapi, lagi-lagi kami berhasil menggoyang 3000an penonton di Payzac malam itu, bahkan penonton meminta encore di show malam itu. Chinese Man pun memainkan salah satu remix dari album mereka yang belum dirilis, “Miss Chang” ( dubstep remix). Wah, baru kali itu saya mendengar musik dubstep dimainkan dengan tata suara yang begitu dahsyat, plus tata lampu yang mantap, walau kurang maksimal tanpa pertunjukan video, tapi semua orang cukup puas malam itu.

Malam itu menyisakan debu di beberapa peralatan Chinese Man, dan saya yang kehilangan jaket, karena larut dalam suasana. Alhasil, kedinginan melanda.

Setelah show di Payzac, keesokan harinya kami pun kembali ke Marseille. Setelah sampai, kami pun harus menyimpan kembali semua peralatan di sebuah gudang penyimpanan di sebuah tempat yang merupakan juga titik pertemuan kami setiap mau berangkat tur.

Sesi latihan di Le Remorque

Setelah istirahat sehari, akhirnya kami semua dapat melakukan sesi latihan yang sesungguhnya agar lebih maksimal untuk show berikutnya. Kali ini, Yowie sang trombonis pun akhirnya mulai bergabung di formasi, wajahnya tegang karena belum tahu apa yang harus dilakukan hehe... Tenang bro! Sikat wae. Itulah yang selalu saya tekankan kepada dia.

Latihan berlangsung di sebuah studio bernama Le Remorque, sebuah studio yang hampir berbentuk seperti kontainer. Wow, satu hari sewanya 200 euro atau senilai hampir Rp 2.500.000.

Chinese Man membawa semua peralatan dan tim mereka, termasuk penata lampu, VJ, sound engineer, bahkan sampai layar besar untuk video yang biasa untuk show pun dipasang di dalam studio latihan kali ini. Studio yang tadinya kosong pun terisi penuh oleh berbagai peralatan.

Kami berlatih dan berpikir keras hari itu, kadang diwarnai pertengkaran kecil dan tawa yang pecah ketika sebuah aransemen berhasil dibuat. Yowie pun sudah tidak canggung lagi ketika semua bagiannya sudah ketemu, bahkan beberapa kali dia mendapat pujian dari anak-anak Chinese Man karena tiupan trombone-nya. Saya dan MC Taiwan pun saling berbagi part, dan pada akhirnya semua benar-benar siap untuk show berikutnya.

Tak terasa hari itu 6 jam kami habiskan di studio. Di sela-sela latihan, anak-anak Chinese Man menyempatkan diri untuk ke Studio 2, menengok Deluxe, sebuah band yang sedang diproduseri oleh Chinese Man Records.

Keesokan harinya, kami mengulang latihan sekali lagi untuk memastikan semuanya benar-benar maksimal, ya, 6 jam lagi berkutat di studio karena cuma ada latihan dua hari ini untuk melanjutkan enam show yang tersisa.

Oya, Julian, sang sound engineer dibawa ke sesi latihan ini, karena di live show, kami banyak menggunakan efek-efek dub seperti echo, delay dan reverb untuk vokal dan trombone, jadi sound engineernya juga latihan. Dia juga selalu membawa semacam alat sirine analog, yang dibunyikan di setiap live show, bisa disetel/dimainkan frekuensi-nya.

Bukan hanya para pemain band-nya saja yang latihan, tapi sound engineer, penata lampu, VJ, semua ikut latihan seolah-olah sudah di panggung.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com