Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wawancara dengan Yockie 2: Sejak Keluar, Tak Ada Sepeser Pun dari God Bless

Kompas.com - 25/10/2011, 11:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Pada 20 Oktober 2011 dini hari, pemusik kawakan Yockie Suryo Prayogo (52), melalui wall akun pribadi Facebook-nya, membeberkan kepada publik konflik panjangnya dengan God Bless, band legendaris yang pernah dihuninya pada 1988-2003. Apakah yang menyebabkan Yockie tiba-tiba melancarkan aksinya itu? Silakan simak hasil wawancara yang dilakukan oleh Kompas.com terhadap Yockie di kediamannya di kawasan Serpong, Tangerang, Banten, 20 Oktober 2011 malam. Kali ini kami publikasikan bagian kedua dari hasil wawancara itu.

Benar atau tidak, Anda jadi paling dominan dalam God Bless karena karya Anda? Tapi, ternyata, selama ini saya hanya dianggap pelengkap saja. Kalau mau mencari pelengkap, ya silakan cari orang lain, jangan cari saya. Bahasa apa pun mau dipakai, boleh-boleh saja. Tapi, intinya, dalam menyikapi bahasa mereka, ada kecurigaan mereka bahwa, "Saya ini ingin berkuasa, saya ingin mengatur God Bless, saya ini ingin otoritas lebih mengatur semuanya."

Kalau kita bicara kerja kolektif itu, tidak ada istilah motor segala macam atau dominan. Ini dengan sendirinya akan eksis. Tapi, kalau suatu saat kemudian ada yang lebih dominan dalam hal kreativitas, dalam suatu ide, lalu kemudian dia menjadi inspirasi, itu automatically semua orang akan melihat.

Kemudian, kalau saya mencurahkan segala inspirasi saya di God Bless, itu bukan karena ingin dominan, tapi karena saya ingin berkarya. Kalau kemudian ada lagu "Kehidupan", ada lagu "Menjilat Matahari", yang kemudian diapresiasi banyak orang, itu bukan karena saya dominan, itu hanya karena kebebasan saya berekspresi. Tapi, kalau ini dianggap oleh dia mengganggu, kan justru celaka. Walah, ini kan repot. Apalagi kalau saya disuruh main organ (keyboard) saja, terus dia tidak usah ngomong (nyanyi), saya tinggal dikasih part-part saja untuk main begini, "Mending lo cari pemain lain saja."

Saya hanya ingin membedakan, mereka harus paham apa yang disebut pergaulan kreatif dan pergaulan non kreatif. Kalau pergaulan non kreatif itu seperti saya dengan Anda, bersahabat ya ngguyu, itulah yang disebut pergaulan non kreatif. Ada logika-logika lain lagi di pergaulan kreatif. Kalau ada yang lebih kreatif, "Ya lo enggak bisa menghalangi kreativitas gue dong." Tapi, kalau kreativitas saya ingin diperbaiki, ya hayu dibicarakan. Itu kan artinya dialektika kreativitas. Akhirnya, permasalahan pribadi dibawa ke kreativitas. Ini kan konyol.

Maaf ya, saya bukan mau melecehkan. Tapi, jelas saya mau mengatakan, mbok jangan goblok lah. Ini sudah 2011, bukan zaman dulu, yang bisa berdasarkan paternal feodalistic, hanya berdasar enggak enak lho, karena di lebih tua.

Sekarang enggak bisa gitu. Kalau salah, ya salah. Meskipun saya lebih tua, kalau saya salah, ya salah. Saya harus bisa menerima realita itu. Jangan mentang-mentang saya tua, tapi Anda lebih muda. Mengajar orang tua kan enggak begitu.

Kalau larangan dari Anda untuk membawakan lagu ciptaan Anda sebelum meminta izin dari Anda ditabrak dengan alasan permintaan penyelenggara konser, seperti apa tanggapan anda?

Itu kan lucu. Logika itu dibangun dari mana? Mereka berpikir seperti itu, logikanya seperti apa? Artinya, logika itu bisa dibenarkan seperti, "Lho saya enggak mau menyanyikan lagu itu, tapi saya terpaksa karena panitia yang memintanya." Ini akan dijadikan alasan pembenaran. Ini logikanya dari mana? Ini kan hanya anak kecil yang berbicara seperti itu. Sama halnya seperti, "Kenapa kamu nakal? Ya, sebenarnya saya enggak nakal, hanya saja diajakin tetangga, jadi saya nakal." Masak mau nyalahin tetangga sih? Ya enggak bisa dong. Ini tanggung jawab sendiri. Kalau mereka diminta main, kemudian pakai alasan diminta panitia, ya enggak bisa dong. Itu ya tanggung jawab mereka dong.

Apakah Anda sudah mulai membuat inventarisasi lagu-lagu ciptaan Anda?

Sudah, saya sudah menginventarisasi lagu-lagu saya. Tidak hanya sewaktu di God Bless saja, di (perusahaan rekaman) Musica (Studios) pun saya melakukannya, supaya lagu-lagu saya tertata dengan baik. Begitu pula lagu "Kesaksian" di Kantata. Sewaktu Hanung Bramantyo memakai lagu Kantata di film, saya langsung tegur dia, "Kenapa kamu enggak minta izin!" Gara-gara ini ada sedikit kesalahpahaman di Kantata. Padahal, semua bermuara di Hanung. Sebagai produser semestinya dia tahu etika, di lagu itu ada saya, ada Iwan Fals, ada Sawung Jabo. Tapi, kenapa Hanung minta izin ke Setiawan Djody. Ini masalah hak cipta, tapi dia keukeuh seperti itu, ini yang membuat saya kesal juga ke Hanung.

Masalah seperti ini kan harus kita hadapi. Bukan untuk tarik urat leher, tapi untuk diselesaikan baik-baik, gitu lho. Tapi, kalau enggak bisa secara baik-baik, ya harus secara hukum.

Apakah selama ini Anda mencicipi royalti lagu ciptaan Anda dari rekaman dan panggung God Bless?

Enggak ada, sepeser pun juga enggak ada. Kalau bicara God Bless, dari 2003 sampai hari ini saya tidak menerima sepeser pun. Cuma, bukan itu tujuan saya. Saya hidup di musik dari tahun 1970, bukan itu tujuan saya. Tapi, kalau dari musik saya bisa hidup, ya alhamdulillah.

Saya main musik bukan untuk hidup kok. Saya enggak butuh duit dari kalian. Cuma, kalau musik saya bisa kalian hargai sehingga orang bisa menghargai karya saya, dan orang membeli karya saya sehingga itu menjadi input materi buat saya, ya alhamdulillah.

Saya tidak mencari duit apalagi mencari popularitas. Paling tidak, apa yang saya lakukan itu yang kalian kaji. Menghargai lah, cukup menghargai saja.

Kalau ada alasan agak repot menentukan pencipta lagu dalam God Bless, apa pendapat Anda?

Enggak bisa seperti itu, karena di God Bless semenjak 1988, di saat rekaman "Semut Hitam" itu, pendataan itu jelas, siapa yang mencipta itu jelas. Artinya, paradigma di God Bless berbeda dengan paradigma sewaktu saya di Kantata Takwa membikin lagu.

Kalau di Kantata, saat saya membikin lagu "Kesaksian" atau lagu apa pun juga, saya workshop dengan Iwan Fals dan Sawung Jabo. Bertiga saya workshop di studio. Saya biarkan Mas Iwan bernyanyi, Jabo juga main sendiri, saya main sendiri, terus saya rekam. Pelan-pelan notasi spontanitas itu saya bangun, saya simpan dalam laptop sebagai raw material, bukan lagu. Kemudian, setelah selesai, saya bawa ke studio sendirian. Kemudian, raw material itu, ada ekspresi saya, Iwan, dan Jabo, saya rancang menjadi notasi yang terukur, menjadi refrain dan lagu. Setelah jadi refrain dan lagu, saya bikin aransemen musik dasar. Setelah selesai itu, saya telepon Rendra (almarhum WS Rendra). Saya minta lirik buat lagu "Kesaksian". Itulah prosesnya. Jadi, proses sebuah lagu dalam Kantata semua bareng-bareng. Jadi, di lagu "Kesaksian" itu enggak bisa dibilang lagu Yockie sendiri atau lagu Iwan sendiri, tapi itu lagu Yockie, Iwan, Jabo, dan Rendra selaku penulis lirik.

Tapi, kalau di God Bless, tidak seperti itu. Di God Bless, selama rekaman, kami bergaul lebih intens hanya saat mau rekaman dan mau main. Di luar kegiatan itu kami tidak berhubungan. Artinya, di luar itu kami punya wilayah pergaulan berbeda. Jadi, kalau bicara rekaman, katakanlah kami akan rekaman tanggal 10, jauh-jauh hari sebelum tanggal 10 itu saya bikin lagu sendiri di rumah, kemudian masuk studio. Oke, setelah di studio mau lagu siapa duluan direkam, misalnya lagu Yockie duluan, setelah itu baru saya duduk di piano dan saya rekam lagu saya, lalu saya kasih guide untuk Donny (Donny Fattah Gagola) main bas, lalu untuk Ian (Ian Antono) main gitar, dan untuk Teddy Sudjaya main drum. Mereka lah yang merespon lagu saya. Jadi, prosesnya jelas, siapa komposer, siapa arranger, karena yang lain menyesuaikan, sesuai apa yang saya inginkan. Tapi, kalau kemudian mau nyoba yang lain sih terserah, asal jangan keluar dari pattern yang saya ciptakan atau pattern yang Ian dan Donny ciptakan.

Kalau kemudian ada lagu "Rumah Kita", yang Ian ciptakan, itu dia bikin sendiri, saya enggak ikut-ikutan. Dia main sendiri dengan gitar, saya dan yang lainnya menyesuaikan isi piano, isi bas, isi drum.

Jadi, di God Bless itu, enggak bisa diklaim itu lagu sama-sama. Tidak bisa seperti itu lah, karena memang tidak pernah bikin lagu sama-sama. Kalau pun ada, itu berdua. Seperti saya sama Donny di lagu "Semut Hitam", yang bermula dari gagasan Donny, terus saya yang bikin liriknya. Jadi, jelas itu bikinan Donny Fattah dan Yockie. Nah, kalau "Kehidupan" dan "Menjilat Matahari", itu bikinan saya. Apalagi, lagu "Raksasa".

Kalau dibilang repot menentukan siapa penciptanya, mungkin itu kasus Ian sendiri di God Bless sekarang ini, bukan kasus saya. Bisa saja itu kasus God Bless selama ini, yang sudah tanpa saya. Ini bukan terjadi di kasus saya.

Kalau sudah begini, apakah Anda dan God Bless bisa duduk bareng atau malah terpaksa melangkah ke wilayah hukum?

Seperti yang saya tulis di Facebook saya, saya ini motivasinya bukan untuk mempermalukan mereka atau bukan juga untuk memperebutkan masalah ekonomi royalti, bukan itu juga. Saya ini hanya ingin menegakkan etika, karena setelah bergaul di musik, saya juga bergaul di budayawan. Saya banyak belajar mengenai etika, bagaimana etika kita morat-marit. Ketika saya kembali ke dunia musik, ternyata etika kita ini sudah mulai kacau. Bukan mengenai mempermalukan orang atau mencari popularitas, tapi ini masalah etika.

Sudah sulit bagi saya untuk memakai cara-cara yang biasa, tapi ternyata mereka tidak paham, mereka tidak taat hukum. Kalau sudah tidak taat hukum, ya pantas saja mereka di mata saya sudah tidak tahu etika.

Jadi, God Bless masih bisa membawakan lagu ciptaan Anda?

Ya, itu dia etika. Ketika mereka sudah menyadari kekeliruan mereka, "Ternyata kita naif, ternyata kita enggak sadar akan kesalahan, enggak sadar hukum," masa saya mau menuntut ganti rugi masalah kenaifan itu? Ya enggak lah. Cuma, seterusnya, ya minta izin lah, karena ada aturannya, ada transaksi komersial itu ada yang melindungi dengan undang-undang. Kalau mereka memahami itu, ya silakan saja. Saya pun tidak ada masalah.

Tapi, kan selama ini saya tersiksa itu karena mereka tidak punya etika, melecehkan gue, membicarakan gue seenaknya, mencari duit pakai karya gue. Itu kan kesalnya di situ.

(berlanjut ke bagian ketiga)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com