Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggia Melanie, Kebahagiaan Pasien Jadi Miliknya Juga

Kompas.com - 03/11/2011, 10:30 WIB

KOMPAS.com - Senyumnya yang ramah dan bicaranya yang hangat, menenteramkan hati pasien. Anggia Melanie Lubis (29), dokter spesialis infertilitas, berupaya menjadi sahabat bagi pasangan suami istri yang menjalani program bayi tabung.

”Wah, dokter cantik banget.” Pujian itu dilontarkan para perawat dan pasien begitu Anggia melintas di Klinik Fertilitas Morula In Vitro Fertilization, Jakarta.

Pipi Anggia memerah. Ia tampak grogi. Anggia menjadi dokter termuda dari enam dokter yang bekerja di klinik tersebut. Ia juga termasuk dari sedikit dokter perempuan yang menekuni spesialisasi infertilitas.

Sehari-hari, Anggia lebih banyak berkutat di balik seragam dokternya. Ia praktik setiap hari, dari Senin hingga Sabtu, dan bahkan seringkali tetap bekerja di hari Minggu. Ia memang supersibuk. Seluruh waktunya tersita untuk program bayi tabung. Bahkan jika sahabat-sahabatnya ingin bertemu, ia menyarankan mereka untuk datang ke klinik. Ya, ke klinik dan mengobrol di sela jadwal konsultasi dengan pasien.

Klinik tempatnya bekerja itu memang merupakan klinik bayi tabung yang padat jadwal. Antrean panjang pasien akan mengular, terutama pada akhir pekan. Pasangan suami istri yang hendak konsultasi bahkan harus berdiri karena seluruh bangku tunggu terisi penuh. Sebanyak 15 persen pasien di klinik ini berasal dari luar negeri. Setiap tahun tercatat sekitar 400 pasangan yang menjalani program bayi tabung di sana.

Tak jarang pasien menangis dan depresi sejak pertama kali berkonsultasi. Umumnya, mereka takut jika tak lagi punya harapan memiliki buah hati. Anggia pun berupaya untuk bijak memahami kondisi psikologis pasien sebelum menawarkan jalan keluar. Anggia membuka diri untuk berkomunikasi dengan pasien. Telepon selulernya terbuka 24 jam. Siang-malam, pasien bertanya tentang beragam masalah. Kadang ada juga pasien yang menangis ketika keguguran.

Memetik telur
Dengan dipandu monitor mesin ultrasonografi (USG), Anggia memulai proses bayi tabung dengan memetik telur menggunakan alat semacam jarum. Proses ini butuh ketelitian tinggi selama sekitar 45 menit, tergantung banyak sedikitnya telur yang dipetik. Dalam waktu satu kali 24 jam setelah pembuahan di cawan laboratorium, embrio sudah terbentuk.

Jika pasien berusia di atas 35 tahun, Anggia akan mentransfer tiga embrio ke dalam rahim atau hanya dua embrio yang ditanam ketika pasien berusia di bawah 35 tahun. ”Kami hanya menanam embrio yang levelnya excellent dan good. Embrio ini berkualitas karena membelah sesuai waktu pembelahan selnya.”

Kualitas embrio sangat ditentukan keahlian dokter, mulai dari pemberian hormon penyubur, pematangan telur, pemetikan telur, hingga penanaman embrio ke rahim.

”Begitu gagal, saya berusaha menata diri dulu, baru menenangkan pasien. Jika mereka sedih, saya ikut sedih. Kecemasan dan kebahagiaannya sama dengan yang menjalani,” kata Anggia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com