Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa Kebangsaan

Kompas.com - 21/07/2012, 02:12 WIB

ASEP SALAHUDIN

Ramadhan kembali menghampiri kita. Pada bulan ini biasanya ”kesalehan” menjadi tampak mengalami lonjakan. ”Tuhan” kita temukan di mana-mana, bahkan televisi menjadi berlomba-lomba mencitrakan sebagai media religius.

Puasa yang sejatinya menjadi ritus yang juga diajarkan semua agama dalam sesaat seakan mampu mengendalikan semua syahwat kebendaan kita. Tiba-tiba Tuhan tampak seolah akrab menjadi bagian integral dari napas kehidupan dan dinamika sejarah keseharian.

Ramadhan berkah, boleh jadi, ya. Bisa pula menjadi tidak berarti apa-apa manakala substansi Ramadhan dan spirit puasa tidak pernah tampak di hari-hari luar Ramadhan. Bahkan, ketika Lebaran tiba pun semua sudah bermetamorfosis, berubah ke habitat asal yang tidak cukup elok: tersungkur dalam daulat benda.

Bisa jadi muara semua itu karena sikap keberagamaan kita sudah tersandera oleh ”budaya populer”. Semuanya menjadi serba instan, dangkal, dan nyaris hilang sisi penghayatan dan kedalaman dari pengalaman keberagamaan itu.

Budaya populer dalam kenyatannya tak hanya menjangkiti cara kita berpakaian, bagaimana kita makan, seperti apa kita bersikap dalam panggung dramaturgi politik, sosial dan ekonomi. Akan tetapi, juga menyeruak memasuki wilayah sakral religiositas keberagamaan kita hari ini.

Dalam konsep budaya populer, yang dinomorsatukan adalah ”pencitraan”, ”pendangkalan”, ”kesan”, dan potret artifisial lainnya. Pada gilirannya: politik menjadi kehilangan kesantunan dan akal sehat; hukum surplus diskriminasi dan defisit rasa keadilan; ruang sosial hanya gaduh oleh perebutan atas nama kebenaran yang dipahami secara eksklusif dan fanatik. Lalu, ekonomi tidak pernah membersitkan pemerataan dan kesejahteraan, kecuali sekadar pemihakan kepada kaum pemodal. Selebihnya adalah fantasi kenaikan pendapatan per kapita yang disusun melalui retorika untuk kepentingan pengawetan kuasa.

Domain religiositas

Hal yang tidak jauh berbeda budaya populer ketika menyergap domain religiositas. Maka, misalnya, menjadi mudah dipahami kalau animo haji tidak pernah sebanding lurus dengan terciptanya masyarakat yang naik tarap hidupnya. Menjamurnya rumah ibadah tidak kemudian otomatis membuka cakrawala tersemainya sikap inklusif dan toleran bagi pemeluk agama.

Puasa yang telah sekian tahun kita lakukan tidak menjadi garansi bagi terwujudnya ruang publik yang bebas dari sikap tamak dan rakus. Bahkan, kitab suci yang notabene diturunkan di bulan Ramadhan pun tidak luput dari korupsi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com