Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Ikang Fawzi sampai Angel Lelga

Kompas.com - 29/04/2013, 10:10 WIB
Ilham Khoiri

Penulis

Ilham Khoiri M

KOMPAS.com - Setelah Reformasi 1998 di Indonesia, banyak bintang dunia hiburan alias pesohor yang melompat ke politik praktis. Mereka terutama mengincar kursi anggota legislatif. Bagaimana mereka menyiapkan diri?

Mari kita ikuti perjalanan Dedi ”Miing” Gumelar (55), anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Lelaki ini menggeluti dunia komedi dan mendirikan grup Bagito sejak 1978. Hingga tahun 2000-an, dia malang-melintang dalam acara televisi, film, dan pentas langsung.

Dia mulai menjadi simpatisan PDI-P sejak 2003. Taufiq Kiemas, politisi senior partai ini, sempat memintanya menjadi calon bupati Lebak, lalu calon wakil gubernur Banten. Maklum, komedian itu berasal dari Leuwidamar, Lebak, Banten. Namun, Miing belum siap.

Tahun 2008, Miing resmi menjadi anggota PDI-P karena merasa pas dengan ideologi partai yang dikembangkan dari spirit Pancasila. Terjun di Lebak, dia mengajak warga untuk membangun kembali irigasi, membuat bangku sekolah, dan sarana mandi cuci kakus. ”Saya membeli bahan-bahan, warga bergotong royong bekerja,” katanya di Jakarta, Sabtu (27/4).

Pada Pemilu 2009, Miing terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Banten I (Pandeglang dan Lebak). Namun, dia tidak maju lagi sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2014. Dia menyiapkan diri sebagai calon wali kota Tangerang pada pilkada Agustus 2013 nanti.

Cerita serupa dilakoni Nurul Arifin (46), anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar. Namanya melambung lewat sejumlah film, terutama tahun 1980-an dan 1990-an. Maju sebagai caleg pada Pemilu 2004, dia mendapatkan suara terbanyak. Namun, saat itu caleg terpilih ditentukan nomor urut, bukan suara terbanyak. Dia harus puas sebagai penarik suara (vote getter).

”Bapak mertua saya mengingatkan, jangan hanya siap menang, tetapi harus siap kalah. Prinsip saya, kalau sudah (pilih) satu, ya satu aja. Loyalitas dan konsistensi itu memperlihatkan siapa kita,” tuturnya. Nurul konsisten dengan Golkar meski banyak pinangan dari partai lain.

Pemilu 2009 mengantarkan dia ke Senayan, tepatnya di Komisi II DPR bidang pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria. Hidupnya berubah. Sebagai artis, dia cukup tampil di suatu acara lalu dibayar. Sebagai legislator, dia harus mendengarkan aspirasi masyarakat, penjelasan mitra kerja DPR, dan menyuarakan kepentingan publik.

”Menjadi anggota DPR berarti meleburkan ego dan menanggalkan keartisan,” katanya. Dia termasuk getol mendorong ketentuan persyaratan 30 persen perempuan caleg pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Sorotan

Ketika terpilih menjadi anggota legislatif, para pesohor atau artis yang bermetamorfosis menjadi politisi itu dituntut membuktikan diri sebagai wakil rakyat yang berkualitas. Tantowi Yahya (52), anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, menyadari sorotan itu meski sebenarnya terasa ada ketidakadilan melihat politisi berlatar belakang artis.

Jumlah artis di DPR saat ini relatif sedikit, yaitu hanya 16 orang dari total 560 anggota. Meski anggota legislatif berlatar aktivis diunggulkan, kualitas dan kemampuannya juga belum tentu baik, bahkan sebagian terlibat kasus hukum. Banyak pula anggota legislatif bukan artis yang tidak berkontribusi dalam sidang-sidang komisi atau paripurna.

Sejauh ini, Tantowi dianggap punya kinerja bagus, mengikuti proses legislasi, pengawasan pemerintahan, dan mewakili konstituennya. Dia aktif dalam rapat-rapat komisi dan cukup mudah ditemui. ”Saya bukan saja menghilangkan stigma caleg berlatar artis gak bermutu, tapi bisa memberi contoh, termasuk soal absensi dan berpakaian,” katanya.

Menurut Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P, setiap artis yang dipercaya sebagi anggota legislatif harus bertanggung jawab. Mereka tak bisa lagi mengandalkan cara kerja seperti di dunia hiburan, katakanlah seperti bermain sinetron, membintangi film, atau bernyanyi yang berorientasi pada diri sendiri.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com