Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seniman Tari Dedy Lutan Telah Tiada

Kompas.com - 11/07/2014, 09:33 WIB
Irfan Maullana

Penulis

Dok Pribadi Violi Nurlila Dedy Lutan
JAKARTA, KOMPAS.com -- Kabar duka datang mengenai Dedy Lutan, seniman tari dan pendiri Dedy Lutan Dance Company (DLDC). Pria berusia 63 tahun ini, yang menderita kanker pankreas, meninggal dunia di kediamannya di Jalan H Mursyid Nomor 4, Gang Kelapa RT 4 RW 4, Kebagusan, Jakarta Selatan, Kamis (10/7/2014).

"Beliau sekitar jam empat (16.00 WIB) sudah enggak ada. Jam dua siang (14.00 WIB) itu memang sudah ngeluh sakit, enggak kuat. Beberapa tahun yang lalu memang sudah kena stroke. Beberapa bulan kemarin ada tumor ganas, ada kanker juga. Kalau enggak salah kanker pankreas," kata Ega Anandita, pihak humas yang juga murid Dedy Lutan Dance Company (DLDC), kepada Kompas.com, dalam wawancara per telepon di Jakarta, Kamis (10/7/2014) malam.

Ega mengatakan pula, Dedy terlambat mengetahui bahwa ia sudah menderita kanker stadium empat.

"Kanker stadium empat dan ketahuannya pas dia baru lulus S3. Padahal, selama ini sudah tes tapi selalu negatif (bebas kanker)," kata Ega lagi.

Di mata Ega, Dedy melebihi seorang guru.

"Pakde itu guru buat kami. Tapi, dia juga orangtua buat kami. Dia menghargai setiap orang yang belajar, meski orang itu tidak punya (banyak uang), tapi punya kemauan," kenang Ega.

Dedy akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2014).

"Rencananya ba'da dzuhur ya dimakamin di Tanah Kusir," terang Ega.

Dedy, yang bernama asli Hendrawanto Panji Akbar Luthan, ini lahir di Jakarta pada 1951. Ia menyelesaikan kuliahnya pada Jurusan Tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 1979, sebelum akhirnya menjadi staf pengajar di jurusan tersebut. Di samping belajar di IKJ, ia juga berlatih menari kepada Ki Condrolukito, Suparjo, dan Sampan Hismanto untuk tari Jawa; kepada Sjafio Koto, Nurjayadi, dan Sumaryo HP untuk tari Melayu; kepada Tapan untuk tari Minangkabau; serta kepada Kakul untuk tari Bali.

Sebagai penari ia pernah melawat ke Australia (1974), Korea Selatan (1975), Malaysia (1976 dan 1981), Thailand (1977), Jepang (1979), dan Hongkong (1980 dan 1981). Sebagai seorang penari, ia sering mengikuti delegasi seni dari Indonesia ke luar negeri, antara lain ke negera-negara ASEAN, Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, dan Kanada.

Ia juga sering mengikuti pertunjukan-pertunjukan dari para penata tari seperti Sardono W Kusumo, Farida Oetojo, Yulianti Parani, S Kardjono, I Wayan Diya, dan Retno Maruti. Pengalaman lainnya, ia mengadakan studi lapangan ke berbagai daerah di Nusantara. Antara lain Nias, Dayak, Kalimantan Timur, Aceh, Minang, Batak, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, pernah dikunjunginya untuk mempelajari tarian rakyat setempat.

Sejak di IKJ, Dedy memang mengondisikan diri sebagai koreografer tradisi.

"Indonesia kaya akan seni tradisi karena suku bangsa yang sangat banyak, tidak terkalahkan di dunia. Sungguh ironis, begitu kayanya justru anak muda kita miskin pemahaman dan enggan terjun menggarapnya. Saya mendedikasikan diri untuk menghantarkan mereka," kata Dedy dalam biografi yang dikirim oleh pihak DLDC kepada Kompas.com.

Dedy bersama Iriene S Prinka dan istri Dedy, Elly D Lutan, membentuk komunitas seni tari DLDC pada 1990. Aspek utama dari para seniman tari DLDC dalam berkarya adalah melakukan riset lapangan secara intensif atas berbagai tradisi di berbagai daerah di Indonesia serta bersentuhan secara langsung dengan sumber-sumber tradisional. Lewat karya-karya mereka, para koreografer dalam DLDC diharapkan mampu memunculkan aktualisasi diri serta mengenalkan kembali khasanah budaya Nusantara, terutama seni tari, serta membuat kaum muda Indonesia kian tertarik dan memiliki wawasan yang lebih tentang budaya Nusantara, sehingga budaya Nusantara, khususnya seni tari, membara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com