Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Candra Malik
Praktisi Tasawuf

Praktisi tasawuf yang bergiat dalam kesenian dan kebudayaan. Menulis artikel dan cerita pendek di media massa, buku-buku bertema spiritual, dan novel, serta mencipta lagu dan menyanyi. Berkiprah sebagai Wakil Ketua Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2015-2020.

Kala Cakra dan Matahari

Kompas.com - 11/03/2016, 20:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
DEWA BUDJANA. Sudah sejak lama ia melewati euforia masa-masa dielu-elukan dengan tepuk tangan. Siapa pun niscaya percaya betapa legenda hidup ini pasti akan selalu bermain cantik di setiap penampilannya.

Juga malam itu tatkala Budjana memetik dawai mengiringi Shruti Respati. Ia, dengan gaya yang khusyuk, seperti memasuki alam gaib yang magis.

Lahir Agustus 1963 di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, lelaki berdarah Bali ini sangat suka menyendiri demi memasuki Hari Raya Nyepi. 

Demikian pula 9 Maret yang telah lewat, Budjana mengucapkan salam dari Path sebelum bertirakat. Tahun ini istimewa: Hari Raya Nyepi, Gerhana Matahari Total dan Hari Musik Nasional datang satu paket!

Saya segera teringat malam itu di Salihara Jazz Buzz, empat tahun lalu, Budjana memikat para penonton.

Sebelum sorak-sorai pecah, hening menguasai ruang dan waktu ketika pesinden dari Solo, Shruti Respati, mulai melantunkan sebuah kidung berjudul Kala Cakra. Dipadu jemari lentik Budjana memetik gitar, Shruti laksana menembus dimensi lain.

Nyepi, matahari, musik. Ketiganya adalah dunia Budjana. Sebagai Hindu yang taat dan percaya pada darma dan karma, ia meyakini Nyepi ialah momen spiritual mengosongkan diri dari nafsu-nafsu duniawi.

Sebagai manusia, terlebih dari Bali, matahari adalah daya hidup tak pernah habis. Maka gerhana, apalagi total, adalah saat paling tepat untuk mawas diri.

Dan sebagai musisi, tak perlu lagi saya bertanya betapa Budjana amat sangat mencintai musik.

"Saya masih berjuang mewujudkan museum gitar di Bali. Yang membuatnya lama, saya harus menemui satu per satu perupa yang saya minta melukis di atas gitar koleksi saya," ungkapnya.

Selain itu, di usia yang sudah melewati separuh abad, ia masih produktif berkarya.

Tapi, siapa yang tahu betapa ayah dua anak ini merasakan jiwa raganya lemas, bahkan semakin tak berdaya pada bulan kedua setelah mengiringi Shruti menampilkan lagu Kala Cakra?

Di rumahnya di radius Kemang, sang gitaris bertutur, "Sepertinya aku kena. Tak kusangka main Kala Cakra harus dengan ritual tertentu," ujar Budjana. Lagu itu ternyata tak sekadar lagu.

Hari-hari kemarin, atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian dari kita menertawakan "kebodohan" di masa lampau tentang mitos Bathara Kala mencaplok matahari.

Tak ada yang boleh keluar dari rumah ketika gerhana matahari total pada 11 Juni 1983. Beda jauh dengan 9 Maret lalu. Gerhana matahari total menjadi even pariwisata dan disambut sukacita.

Padahal, jika kita memang seorang anak Indonesia, mitos dan dongeng ialah denyut nadi dan detak jantung bangsa Nusantara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com