Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

”Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga…”

Kompas.com - 23/07/2016, 19:34 WIB

Oleh Frans Sartono

KOMPAS.com - "Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman...." Begitu Yok Koeswoyo menulis lagu "Kolam Susu". Kini, ia menulis kupasan karya-karya gubahannya dalam buku "Yok Koeswoyo–Pesan dalam Lagu". Seniman ini mengkritik tanpa menyakiti, tapi justru menghibur.

Lagu gubahan Yok Koeswoyo, seperti "Kolam Susu", "Tul Jaenak", dan "Nusantara", telah berumur lebih dari 40 tahun. Yok kini berusia 72 tahun dan sebagai seniman, dia tidak mengenal "pensiun". Kiprahnya memang tidak lagi harus di panggung, atau dapur rekaman, tetapi di pentas kreativitas yang tidak ada batas.

Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, bernama lahir Koesroyo ini masih menulis lagu. Ia juga menuliskan pikiran-pikirannya. Dalam buku Yok Koeswoyo–Pesan dalam Lagu (terbitan Grasindo), eksponen Kus Bersaudara dan Koes Plus ini mengupas 40 lagu karyanya. Ia menjelaskan latar belakang lahirnya lagu serta pemaknaan sesuai koteks zaman.

"Kolam Susu" yang populer pada awal 1970-an, misalnya, merupakan semacam ironi negeri yang konon subur makmur, gemah ripah loh jinawi. "Bukan lautan hanya kolam susu/ Kail dan jala cukup menghidupimu/ Tiada badai, tiada topan kau temui/ Ikan dan udang menghampiri dirimu... // Orang bilang tanah kita tanah surga/ Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.…"

Lagu tersebut sebenarnya menyisakan pertanyaan yang tak tertulis. Protes yang tak disampaikan secara verbal, tapi sembunyi-sembunyi di antara baris-baris lirik. Dalam buku, pertanyaan itu dijawab. "Memang alam kita kaya raya, namun mengapa di negeri ini pembangunan tidak merata…. Masih terdengar orang sakit susah mendapatkan perawatan. Masih banyak masyarakat yang menganggap sekolah merupakan barang mewah…."

Bagaimana lagu itu lahir? Dalam obrolan di sebuah saung di Jalan Haji Nawi, kompleks keluarga Koeswoyo di Jakarta Selatan itu, Yok menjelaskan bahwa sebagai seniman ia harus bicara, bersaksi. Dalam kapasitasnya sebagai musisi, unek-unek itu ia sampaikan lewat lagu.

"Yah... saya melihat keadaan pada saat itu, ya, seperti itu. Terus muncul begitu saja ide lagu itu. Ini tanah surga yang salah kelola. Tapi, kami menyampaikan tanpa menyalahkan siapa pun," katanya.

Tembang dolanan

Dengan sikap seperti itu, Yok menyampaikan kritik keras dengan cara bersahabat. Dalam masyarakat Jawa, hal itu disebut sebagai guyon parikeno. Kritik lewat canda, dengan harapan pesan atau sindiran tersampaikan tanpa menyakiti. Gaya menulis lagu semacam itu merupakan pengaruh tembang dolanan Jawa. Yok tumbuh dalam keluarga dan lingkungan budaya Jawa dengan segenap elemen budaya yang melingkupinya, termasuk tembang-tembang Jawa.

Dalam obrolan, tampak sekali Yok mendalami, dan memahami tembang, mulai tembang macapat yang "serius" sampai tembang dolanan. Ia hafal tembang macapat Dandhang Gula terkenal, "Kidung Rumeksa ing Wengi", yang konon ditulis oleh Sunan Kalijaga.

Ia mencoba mengupas makna tembang "Semut Ireng" dan "Ilir-Ilir". Yok juga mengupas lagu dolanan, seperti "Tekate Diipanah" dan "Yuk Nang Alun-Alun", yang menurut dia punya makna profetik, futuristik.

Model tembang dolanan terbawa dalam lagu-lagu karya Yok, seperti lagu berbahasa Jawa "Tul Jaenak", "Salah Mongso", dan "Pring Gading". Juga lagu "Lihat Jendelaku" dan tentu saja "Kolam Susu".

Lagu "Tul Jaenak" yang menjadi lagu pertama dalam album Koes Plus Pop Jawa Volume I dikembangkan Yok dari lagu "Tul Jaenak" yang ia kenal sejak masa kecil di Tuban. Koes Plus dengan cerdas mentransformasikan tembang dolanan dengan struktur lagu pop dan berhasil.

Lagu itu sangat populer pada 1973, bahkan hingga hari ini dalam hajatan perayaan lagu-lagu Koes Plus, "Tul Jaenak" sering dilantunkan. Sekadar mengingatkan, berikut lirik refrain-nya, "Tul jaenak, jae jatul jaeji, kuntul jare banyak ndoke bajul kari siji.…"

Penjelasan Yok, "Kuntul, burung kecil, kok, mengaku banyak (angsa) yang berbadan lebih besar. Kalau sekarang itu, kan, namanya mark up."

Dalam lirik juga disebut "Arep mulyo kudu marsudi/ Buto Ijo ojo digugu…." Artinya, kalau ingin hidup mulia, haruslah bekerja keras, Buto Ijo (raksasa hijau) jangan dipercaya.”

Dalam mitologi Jawa dikenal sosok Buto Ijo atau raksasa hijau yang bisa memberikan kekayaan instan kepada mereka yang memintanya dengan syarat tertentu. Yok, lewat lagu itu, sebenarnya bicara tentang korupsi atau upaya orang untuk mencari kekayaan dengan jalan pintas.

Mewarnai Koes Plus

Yok Koeswoyo ikut mewarnai Kus Bersaudara dan Koes Plus. Bersama kakak-kakaknya, Koesdjono atau Djon Koeswoyo, Koestono (Tonni), Koesnomo (Nomo), dan Koesyono (Yon), Yok tergabung dalam Kus Bersaudara sejak umur belasan tahun. Dalam Kus Bersaudara, Yok yang bermain bas berpasangan dengan Yon. Mereka berduet yang mengacu pada duet Everly Brothers, duet asal Amerika Serikat populer pada akhir 1950-an.

Pada pertengahan era 1960-an, Kus Bersaudara mengubah orientasi dari Everly Brothers ke jenis-jenis musik Beatles, Rolling Stones, dan Bee Gees. Pada jelang akhir 1960-an, Nomo keluar dan dibentuklah Koes Plus dengan Murry sebagai drummer.

Yok sebagai salah seorang vokalis Koes Plus memberi ciri dengan suara tinggi melengking ala penyanyi rock. Misalnya, pada lagu "Pencuri Hati" dan "Jemu". Akan tetapi, suara Yok bisa juga lembut, seperti pada lagu "Mawar Bunga" dan "Aku Sendiri".

Lagu-lagu gubahan Yok juga ikut melegendakan Koes Plus. Tema sangat beragam, mulai dari cinta yang memang menjadi jualan utama dalam industri musik sampai cinta Tanah Air, lingkungan, dan Yang Maha Esa. Lagu cinta gubahan Yok antara lain "Why Do You Love Me" yang dalam album Koes Plus Volume 4 (1971) dibawakan oleh Yon Koeswoyo.

Untuk lagu cinta Tanah Air, Yok menyumbang tiga lagu seri Nusantara, yaitu Nusantara 3, 5, dan 8. Seperti diketahui, Koes menulis sebanyak 8 seri lagu Nusantara.

Yok dalam lagunya juga bicara tentang desa dalam "Desaku". Secara halus ia menyindir desa yang tidak kebagian rezeki yang semestinya dalam prinsip pemerataan hasil pembangunan.

Gitaris Dewa Budjana yang memberikan catatan dalam buku Yok itu menuliskan bahwa lagu-lagu Yok dan Koes Plus bicara tentang berbagai aspek kehidupan. Budjana yang sejak kanak-kanak menggemari lagu Koes Plus menambahkan, lagu-lagu mereka menyentuh aspek Tri Hita Karana. "Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam lingkungan, dan manusia dengan Tuhan," tulis Budjana.

"Penyuka seni itu menyukai keindahan. Karena suka keindahan, mereka menyukai alam. Suka akan alam, mereka mencintai Pencipta Alam. Sang Pencipta pun mencintai kita," kata Yok.

Yok Koeswoyo
Lahir: Tuban, Jawa Timur, 3 September 1943, anak ke-7 dari 9 bersaudara keluarga Koeswoyo
Kegiatan: Eksponen pada Kus Bersaudara dan Koes Plus

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2016, di halaman 16 dengan judul "”Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga…”".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com