Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Radhar, Melembutkan yang Garang

Kompas.com - 29/01/2017, 16:30 WIB

Mereka butuh katarsis untuk menyalurkan energi marah yang demikian memuncak itu.

Pada saat itu, rakyat malah sering terjebak oleh elite politik yang sibuk menebar janji demi kekuasaan.

Dinda Kanya Dewi secara satire lewat "Kampanye Hari Ke-5" menjabarkan cara politisi membela rakyat dengan cara seolah-olah. Membangkitkan semangat rakyat untuk melawan yang ujung-ujungnya demi keuntungan si elite politik.

Kemunafikan dan muka dua menjadi tabiat bagi para penguasa. Mereka memasang wajah tanpa dosa dan bahkan seperti penghuni surga.

Padahal, kelakuan tak jauh lebih suci daripada mucikari pinggiran kota. Ini serupa gambaran dalam "Kamar 608 Hotel M" yang dibaca Prisia.

//ahh...denting anggur memecah merdu/melon kristina. tubuh mengilap tanpa kain/tanpa sungkan berenang di ranjang: "pagi ini, kita tentukan kepala keuangan, malam nanti kita ketuk palu presiden, mitnait, haus musik dan janda sinetron"//dan besok pagi, upacara agama" hahaha...."//.

Rakyat ditipu habis-habisan oleh mereka. Orang-orang istana makin kaya, sementara di bawah sana tersisa ribuan Misna.

"Yang Sisa di Daster Misna" bercerita tentang Misna perempuan berusia 36 tahun yang harus menghidupi diri dan kedua anak belianya, Lili (6) dan Tata (4).

Mereka tinggal di rumah dengan atap yang runtuh, lantai terjungkit, dan dapur tersedak.

Ketika kesulitan hidup tak mampu lagi dia panggul, Misna membuka dasternya untuk, "dedemit yang tersenyum di lipatan lemak 83 kilo, bau nikotin, dan air liur peradaban tua".

Dia rela mengoyak harga dirinya demi kedua anaknya. Sementara para manusia Istana menjalani hidup dengan biaya serba ekstra.

"Bahkan kertas tisyu, harga sebulan susu anakku," kata Maudy saat membaca "Di Toilet Istana".

Membunuh bosan
Bisa dibayangkan menonton pembacaan 20 puisi selama hampir dua jam. Bagi penonton yang tak begitu suka dengan rima berpotensi dibelit bosan menonton Manusia Istana.

Apalagi, bahasa puisi-puisi Radhar cenderung filosofis yang maknanya tak bisa ditangkap begitu saja. Radhar sangat sadar itu sehingga meramunya dengan beberapa variasi pemanggungan.

Peran Azis Dyink sebagai penata cahaya, Yandi pada visual maping, dan Aidil Usman pada tata artistik sangat menentukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com