Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Radhar, Melembutkan yang Garang

Kompas.com - 29/01/2017, 16:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Puisi-puisi Radhar Panca Dahana dalam buku Manusia Istana begitu garang, penuh kemarahan, dan banyak luka.

Marah dan luka itu mewakili perasaan banyak orang terhadap penguasa. Dalam puisi teaterikal bertajuk Manusia Istana yang dipentaskan di Teater Jakarta, Sabtu (28/1/2017), enam perempuan cantik mampu memiuhkan kesan garang dan marah.

Manusia Istana yang dipersembahkan oleh Teater Kosong bekerja sama dengan OZ Production dan Kasni Indonesia menampilkan Olivia Zalianty, Marcella Zalianty, Maudy Koesnaedi, Cornelia Agatha, Prisia Wulandari Nasution, dan Dinda Kanya Dewi. Juga ada Slank, Tony Q Rastafara, dan Radhar Panca Dahana. Radhar merangkap penampil sekaligus sutradara.

Manusia Istana memanggungkan 20 puisi yang diambil dari 36 puisi dalam buku Manusia Istana.

Dua puisi di antaranya digubah menjadi lagu, yakni "Indonesia Jalanan" oleh Tony dan "Kabut Sebuah Negeri" oleh Slank. Puisi-puisi itu penuh kritik dan reflektif.

Radhar seolah membangkitkan kembali kesadaran eksistensial kita sebagai rakyat yang telah begitu lama dibodohi penguasa.

Dalam "Sejilid Komik Kritik-Politik" yang dia bacakan sendiri, Radhar menyoroti perilaku para elite politik, wakil rakyat, dan aparatur negara tak ubahnya hiburan murah.

Bagaimana mereka menggulirkan perdebatan tentang kebijakan yang dibalut retorika demi kesejahteraan rakyat. Namun, di balik itu mereka menggelar tawar-menawar harga. Juga dibalut tekanan dan ancaman demi keuntungan seseorang.

Maka, tata negara tak ubahnya tata kapita. Rakyat menjadi tumbal konstitusi demi pengumpulan modal. Yang tersisa tinggallah kebodohan dan kemiskinan. Rakyat selalu menjadi obyek penderita. Itu semua berulang seperti tontonan.

//di kursi penonton/sinema itu tetap memesona/wanita cantik hero yang tampan/negeri kini tinggal hiburan/direproduksi untuk bisnis sampingan// betapa lucu gaya pimpinan/pahlawan lugu tidur kemalaman/rakyat senang menjadi korban//komik ini, komik politik/entertainment tak ada habisnya/kesenangan di sisa jiwa//.

Radhar membaca puisi itu dengan busana seolah koki, sambil memasak. Dia sekenanya saja mencacah kol, menumis wortel, dan memasukkannya ke dalam air yang dia jerang.

Di akhir puisinya, Radhar membanting pisau disusul gambar percikan darah di latar belakang panggung. Adegan itu sebagai simbol betapa rakyat selalu menjadi mainan penguasa.

Hari-hari ini, permainan itu antara lain terkuak ketika Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan kasus suap.

Lebih banyak orang yang tega daripada iba kepadanya. Inilah yang disebut Radhar sebagai tontonan.

Apakah rakyat tidak marah? Rakyat marah, tetapi sering kali tidak menemukan saluran yang pas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com