Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/02/2017, 13:02 WIB

Iwa menidurkan anaknya, yang baru berusia satu tahun, dan menghela nafas panjang. Semalam ia pulang larut, jelasnya. Ia masih rutin diundang tampil di berbagai acara, bahkan saat ia rehat panjang dari industri musik. Selama beberapa bulan terakhir, ia kerap naik panggung “sepaket” dengan NEO dan Sweet Martabak, dua kelompok rap angkatan Pesta Rap yang melejit pada akhir dekade 90-an. Konser mereka semalam di Gandaria selesai lebih larut dari dugaannya.

Setelah Veni Vedi Funky, Iwa K hanya masuk dapur rekaman secara sporadis. “Menurut gue, ada fase di mana bahkan di Amerika sekalipun, rap lagi kehilangan identitas. Lagi stagnan," tuturnya. "Bisa dibilang, baru dari 2011 ke atas ada gejolaknya lagi."

Ia pun mengaku baru kembali sepenuhnya ke hip hop pada tahun 2013. Tahun itu juga, ia membintangi film Tak Sempurna bersama banyak rapper lain, dan berkolaborasi dengan rapper muda Young Lex di lagu Ini Gaya Gue. Setahun kemudian, ia merilis mini album berjudul Living in the Fastlane, dan sisanya adalah sejarah.

Ketika ia kembali ke scene hip hop, ia menilai ada nilai-nilai tertentu yang bergeser sejak ia terakhir kali terlibat aktif. “Tadinya brotherhood di atas,” ujarnya. “Sekarang kompetisi lebih penting.” Namun, ia sendiri mengaku tak canggung bertemu dengan generasi rapper yang lebih muda.

"Bisa dibilang, teman-teman dari generasi sekarang juga membuka jalan bagi gue," ucap Iwa, memuji. "Lagu gue banyak yang mereka ajak jadi soundtrack film, mereka ajak gue kolaborasi. Banyak caranya."

"Memang, pasti ada gap yang muncul secara alamiah,” lanjutnya. "Tapi, gue kecewa pada gap yang disengaja ada. Yang memang dirawat."

Kami mulai mengobrol ihwal ‘Perang Dingin’-nya dengan salah satu rapper muda, yang tidak perlu disebutkan namanya. “Buat gue, generasi sekarang enggak berusaha bikin gap. Bisa dibilang, hanya satu pemain yang seperti itu. Tapi, menurut gue sikap dia enggak mewakili generasinya, jadi harusnya enggak ada masalah," tutur Iwa.

"Mungkin, ada yang salah kaprah tentang budaya diss di sana. Di luar negeri, diss itu ada sebabnya. Ini enggak ada masalah, tiba-tiba nge-diss."

"Ibaratkan begini," lanjutnya, menghisap rokok dalam-dalam. "Dulu, kalau lo tiba-tiba datang ke warung orang, dan lo menghina orang yang lagi nongkrong di sana, akan ada konsekuensinya, kan? Sekarang, lo bisa datang ke warung orang lain dan menghina tanpa ada konsekuensinya. Gimana lo mau belajar kalau lo enggak pernah merasakan konsekuensi? Gimana lo ngerasa bebas kalau tidak ada aturan? Lo baru bisa berpikir di luar kotak kalau lo sudah punya kotaknya dulu. Kalau lo enggak tahu konsekuensi, lo enggak akan belajar."

Namun, terlepas dari konflik kecil itu, ia melihat gejala menarik di scene hip hop kontemporer. "Banyak orang mulai beranjak lagi ke hip hop yang old school," ujarnya sembari terkekeh. "Cara delivery-nya mulai bertutur lagi, mulai bercerita lagi. Semacam ada perputaran lagi, ada keinginan dari pelaku hip hop sekarang untuk mengambil unsur old school di gaya kekinian mereka."

"Anak-anak di scene hip hop sekarang mau explore lagi, dan memang harusnya seperti itu," ujarnya. "Ketika gue menyukai sesuatu, gue pasti akan menelusuri akarnya. Itulah kenapa gue akhirnya suka musik blues. Gue suka rap duluan, tapi akarnya hip hop adalah blues." Ia mulai bercerita tentang playlist favoritnya, mulai dari Wu Tang Clan hingga artis-artis delta blues macam Robert Johnson.

"Menurut gue, orang yang mau berkarya di hip hop harus jadi tong sampah musik," lanjutnya. "Hip hop itu eklektik, kok. Spiritnya eklektik dan menggabungkan berbagai musik. Kalau ada anak hip hop yang enggak suka dengar musik lain, buat gue gimana caranya lo bisa buat sesuatu di karya lo?"

Pendekatan yang serupa ia gunakan dalam penulisan lirik. "Jadi ‘tong sampah’ buku akan mempermudah lo ketika lo deliver lirik," tuturnya. "Lo baca Thus Spake Zarathustra-nya Nietzsche, misalnya. Kata-kata yang dia pakai sadis, man! Gue sih bodo amat dengan manifesto yang dia tulis, tapi ada yang bisa gue adopsi dari cara dia deliver kata-katanya. Banyak juga lagu gue yang liriknya gue dapat dari puisi-puisinya Rumi, kok."

Lirik untuk Bebas, lanjutnya, ia tulis setelah membaca buku-buku filosofi Zen Dharma. “Gue lebih suka kalau lagu gue diartikan A oleh orang, padahal makna sebenarnya beda.” Ujarnya. "Gue mau orang bisa ngeh sama detail. Mereka jadi peka." Iwa terkekeh dan merapikan kausnya yang longgar.

Masih banyak kisah lain dan pengaruh tersembunyi di balik liriknya, ungkap Iwa, namun ia enggan mengungkap semuanya. "Saat ini, orang lagi antipati dengan hal-hal yang kayak begitu," keluhnya. "Ribet amat, sih? Pada akhirnya, semua sungai akan kembali ke laut, kok."

Tangis anaknya terdengar lagi, dan Iwa beranjak dari kursi. Saat kami kembali ke ruang tamu, ia tengah menggendong anaknya dan menyanyikan kidung ninabobo. Ia melihat kami melangkah masuk dengan ragu, dan tersenyum ramah. Ia tampak bahagia.(Raka Ibrahim)

Artikel ini sebelumnya tayang di Ruang Gramedia.com, 31 Januari 2017.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com