Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/02/2017, 13:02 WIB

"Diminum dulu, mas, jangan sungkan," ucap Iwa Kusuma. Saya mengangguk, dan ia tersenyum puas. Iwa menyulut sebatang rokok dan mengajak kami mengobrol di beranda. Lebih santai kalau begini, katanya.

Dua dekade lalu, Iwa menjadi garda depan dari generasi pertama rapper Indonesia yang berhasil menembus arus utama. Ketika ia naik panggung dengan nama Iwa K dan merilis lagu Kuingin Kembali pada tahun 1992, Indonesia diperkenalkan pada gaya rap-nya yang khas. Ketika lagu Bebas dirilis pada tahun 1993, Indonesia dilanda demam musik rap, dan Iwa "keracunan sampai sekarang".

Iwa bersandar di kursi, menandaskan segelas sirup sembari menyicil satu pak rokok. Percakapan kami sempat tertunda sejenak selagi ia menenangkan anaknya yang menangis saat ia tinggal. Iwa tersenyum, seolah meminta maaf, dan menggaruk-garuk kepalanya. Sore itu, ia tampak tenang dan penuh canda. Setiap pertanyaan ia jawab dengan mudah, setiap kisah ia kenang dengan lancar. Sepanjang wawancara kami, ia berulang kali terkekeh dan geleng-geleng kepala, seolah heran dengan ceritanya sendiri.

Ia berdeham dan menggeser asbaknya. "Gapapa, kan, kalau gue cerita dari awal?"

----

Pada tahun 1984, Iwa jatuh cinta pada musik rap untuk pertama kalinya. "Lagu rap pertama yang gue dengar justru masuk di album kompilasi lagu-lagu disko," kisahnya. Kaset tersebut adalah satu dari sekian banyak album kompilasi resmi maupun tidak resmi yang saat itu beredar luas di pasaran. Sekali dengar, Iwa muda langsung terpukau.

"Gue mulai berpikir, lucu juga cara rapper bertutur," kenangnya. "Mereka tidak terikat notasi, tapi enak. Kalau lo dengar, orang kalau nge-rap kan agak kayak perkusi."

Ia menemukan rap pada saat yang tepat. Pada pertengahan dekade 80-an, hip hop mulai menembus arus utama. Atribut dari subkultur tersebut, seperti rap, DJ, dan tari kejang (breakdance) mulai dikenalkan ke masyarakat luas.

Pada tahun 1984, sebuah film berjudul Breakin' dirilis, dan anak muda Indonesia berduyun-duyun menjajal tari kejang. "Dulu memang euforianya begitu," kenang Iwa. "Kita bawa kardus, lapis pakai vinyl, lalu kita perform." Salah satu lagu yang masuk soundtrack film tersebut, Reckless dari Ice-T, segera didapuk sebagai lagu wajib generasi breakdance.

"Waktu itu, yang jadi fokus utama adalah breakdance-nya," tutur Iwa. "Tapi, entah kenapa gue lebih suka sama musik yang mengiringinya." Ia mulai lebih serius mendalami musik pengiring tari kejang tersebut.

"Dulu gue dengerin satu lagu buat cari liriknya. Itu masih pakai kaset," kenangnya sembari tergelak. "Gue rewind, gue play lagi, terus gue ulang sampai kaset gue rusak head-nya." Ketika teman-teman satu kelompoknya sibuk menari, ia mulai bereksperimen mengiringi mereka dengan rap yang ia karang sendiri. "Gue mencoba jadi plagiator murni," tuturnya.

Memasuki paruh kedua dekade 80-an, demam tari kejang mulai reda. Namun, Iwa justru semakin penasaran dan berani bereksperimen dengan rap. "Gue dulu sering perform di acara ala pasar seni, seperti kebanyakan anak SMA," kisahnya. Bandnya tak sekadar menambahkan rap sebagai hiasan di lagu-lagu mereka. Iwa didapuk sebagai vokalis dan mengisi rap di sepanjang lagu. "Tapi, referensi kami tentang musik rap minim banget," kenang Iwa.

Alih-alih mengiringi Iwa dengan hip hop, band tersebut memainkan musik bergaya jazz fusion yang saat itu lebih terkenal. "Waktu itu, kami sok-sokan bikin lagu sendiri," ujar Iwa sembari tersenyum lebar. "Gue selalu ada keinginan untuk perform pakai lirik yang baru. Jadi, gue mulai terbiasa menulis lirik."

Iwa dan bandnya mulai rajin meramaikan panggung di Ibukota. Namun, musik rap masih belum mampu menjangkau audiens lebih luas. "Sebenarnya, beberapa lagu sudah mulai bereksperimen dengan rap," kisah Iwa. "Saat itu, bahkan Denny Malik saja sudah memasukkan unsur rap di lagu Jalan-Jalan Sore." Teknik menyanyi terbata-bata yang dipopulerkan Farid Hardja, serta aksi berbalas pantun yang kerap dilakukan Benyamin S. juga dianggap sebagai leluhur artistik rap di Indonesia.

Di klub malam kota-kota besar Indonesia, segelintir rapper mulai mendapat ruang di acara-acara tertentu dan kompetisi rap skala kecil. Namun, bisa dibilang tidak ada yang meninggalkan jejak berarti. “Gue selalu bilang, gue bukan yang pertama.” Ucap Iwa. “Tapi, tidak bisa dipungkiri, rap masih segmented banget.” Band Iwa pun tak bertahan lama. Ia lulus SMA di akhir dekade 80-an, dan pindah ke Bandung untuk kuliah. Di sana, Iwa mendapat terobosan yang di luar dugaan.

"Ada teman main gue yang bilang, ‘Iwa, teman gue ada yang cari rapper tuh, anak-anak Guest Band!” kenang Iwa. ‘Teman main’ ini adalah adik ipar Masaru Riupassa, salah satu anggota Guest Band. Band tersebut baru saja diminta oleh label asal Jepang untuk menjadi produser bagi penyanyi bernama Mellyana Manuhutu. Para personil Guest, yang sebagian pernah tinggal di luar negeri dan menyukai musik hip hop, mulai mencari rapper untuk mengisi lagu Mellyana. “Akhirnya gue dikenalin sama anak-anak Guest, dan mereka tes gue dulu.” Tutur Iwa. “Setelah itu, langsung diminta take.”

Album Mellyana, Beatify, dirilis di Jepang pada tahun 1991. Setelah mengisi rap di album tersebut, Iwa mulai menjadi “session rapper” untuk beberapa penyanyi lain dan rutin pergi ke Jepang. “Gue cuma mengisi 8 bar, 16 bar,” tuturnya. Terobosan bagi Iwa justru datang gara-gara persoalan teknis. “Gue diminta bikin satu lagu sendiri buat mengisi waktu saat Mellyana ganti baju atau break.” Kenang Iwa sembari tergelak. “Konser di Jepang pasti dipisah jadi dua segmen. Di antara kedua segmen itu, pasti ada yang tampil.”

Guest Band lantas banting setir jadi rumah produksi, berganti nama jadi Guest Music Production, dan tertarik menjadikan Iwa ‘proyek’ mereka berikutnya. “Anak-anak Guest mulai bilang, ‘Lo bikin rap bahasa Indonesia, dong! Belum ada di sini'," kenang Iwa.

Berbekal piringan hitam langka dan alat sampler yang mereka boyong dari Jepang, Iwa dan Guest Music mulai merekam demo dan menawarkannya ke label-label rekaman. Di luar dugaan, label Musica Studios tertarik mengontrak Iwa.

"Mereka industri banget, mainstream banget," ungkap Iwa. "Sementara, rap masih sangat segmented. Memang sudah ada beberapa MC lain di Bandung pada waktu itu, tapi belum banyak."

Dikontrak sebagai artis oleh label besar memaksa Iwa untuk membenturkan ide-ide gilanya dengan praktik-praktik lazim industri musik. Ketika merancang sampul album perdananya, misalnya, Iwa dengan tegas menolak wajahnya ditampilkan. Namun, ide-ide liar Iwa yang lain – seperti naik panggung dengan topeng – ditolak. "Memang, bisnis tidak bisa dilawan," ujar Iwa. "Akhirnya, gue mencari coba jalur gue sendiri, supaya gue masih bisa menikmati."

Pertaruhan Musica – dan kompromi Iwa – berhasil. Album perdana Iwa K, Kuingin Kembali, dirilis pada tahun 1992 dan laku 100 ribu kopi. Angka yang terbilang memuaskan untuk album debut dari artis pendatang baru yang mengusung genre asing dan hanya mengandalkan gambar ikan di sampul albumnya.

"Saat itu, kita promo keliling radio di beberapa kota, naik sejenis minibus," kenang Iwa. Walau media-media tertentu mulai meliput Iwa K dan memainkan musik rap saat siaran radio, kebanyakan orang pada saat itu masih mengandalkan prinsip lama.

"Mereka harus melihat dulu, baru percaya," ujar Iwa. "Apalagi di kota kecil, bisa-bisa kita diarak dulu keliling kota, hanya supaya orang percaya kita ada. Naik mobil, ada voorijder, dibawa keliling kota. Sekarang, gue ngerasa kocak juga!"

Pada tahun 1993, terobosan sesungguhnya bagi musik rap datang. Iwa merilis album Topeng, dengan single andalan berjudul Bebas. Album tersebut laku 260 ribu kopi, lagu Bebas merajai tangga lagu nasional, dan gelombang baru rapper lokal mulai bermunculan. Dua tahun kemudian, Guest Music merilis album kompilasi Pesta Rap yang berisi lagu dari rapper-rapper muda, dan musik rap kian digandrungi oleh anak muda.

"Saat itu, kalau kita promo, kita harus nge-rap," tutur Iwa. "Ketika orang ketemu dan lihat langsung, dia jadi pengen bisa nge-rap juga. Gue harus menunjukkan ke mereka kalau nge-rap itu keren." Generasi Pesta Rap, tuturnya, termasuk berjasa besar menginspirasi banyak rekan-rekannya untuk mengangkat mikrofon dan menjajal hip hop.

"Saat itu, media memang berperan, tapi yang terpenting adalah para pelaku hip hop itu sendiri," lanjut Iwa. "Percuma juga media mau angkat lo kayak apapun, kalau akhirnya di lapangan lo gagal." Guest merilis Pesta Rap 2 pada tahun 1996 dan Pesta Rap 3 pada tahun 1997, dan hip hop mulai berkembang baik di arus utama, maupun di ranah komunitas.

Sebaliknya, menjelang penghujung dekade 1990-an, Iwa mulai kurang akur dengan labelnya. "Dulu, kewajiban gue mengeluarkan album setahun sekali kendor," ungkap Iwa. "Bahkan waktu masih di industri sekalipun, gue enggak bisa diatur." Ia masih sempat merilis dua album yang sukses – Kramotak! di tahun 1996 dan Mesin Imajinasi di tahun 1998 – sebelum memutuskan untuk tak memperpanjang kontraknya dengan Musica Studio’s. Lepas dari naungan label besar, ia merilis album Vini Vedi Vunky pada tahun 2002.

Memasuki era 2000-an awal, hip hop mulai diabaikan oleh industri musik, meski kian solid di ranah komunitas. Iwa pun memutuskan untuk rehat sejenak dari dapur rekaman. "Gue mulai meraba-raba lagi, sampai di mana sih scene hip hop sekarang?" ujarnya. "Entah itu ketololan, atau itu memang hak gue juga, akhirnya gue memilih berjalan di jalur yang lain dulu."

----

Iwa menidurkan anaknya, yang baru berusia satu tahun, dan menghela nafas panjang. Semalam ia pulang larut, jelasnya. Ia masih rutin diundang tampil di berbagai acara, bahkan saat ia rehat panjang dari industri musik. Selama beberapa bulan terakhir, ia kerap naik panggung “sepaket” dengan NEO dan Sweet Martabak, dua kelompok rap angkatan Pesta Rap yang melejit pada akhir dekade 90-an. Konser mereka semalam di Gandaria selesai lebih larut dari dugaannya.

Setelah Veni Vedi Funky, Iwa K hanya masuk dapur rekaman secara sporadis. “Menurut gue, ada fase di mana bahkan di Amerika sekalipun, rap lagi kehilangan identitas. Lagi stagnan," tuturnya. "Bisa dibilang, baru dari 2011 ke atas ada gejolaknya lagi."

Ia pun mengaku baru kembali sepenuhnya ke hip hop pada tahun 2013. Tahun itu juga, ia membintangi film Tak Sempurna bersama banyak rapper lain, dan berkolaborasi dengan rapper muda Young Lex di lagu Ini Gaya Gue. Setahun kemudian, ia merilis mini album berjudul Living in the Fastlane, dan sisanya adalah sejarah.

Ketika ia kembali ke scene hip hop, ia menilai ada nilai-nilai tertentu yang bergeser sejak ia terakhir kali terlibat aktif. “Tadinya brotherhood di atas,” ujarnya. “Sekarang kompetisi lebih penting.” Namun, ia sendiri mengaku tak canggung bertemu dengan generasi rapper yang lebih muda.

"Bisa dibilang, teman-teman dari generasi sekarang juga membuka jalan bagi gue," ucap Iwa, memuji. "Lagu gue banyak yang mereka ajak jadi soundtrack film, mereka ajak gue kolaborasi. Banyak caranya."

"Memang, pasti ada gap yang muncul secara alamiah,” lanjutnya. "Tapi, gue kecewa pada gap yang disengaja ada. Yang memang dirawat."

Kami mulai mengobrol ihwal ‘Perang Dingin’-nya dengan salah satu rapper muda, yang tidak perlu disebutkan namanya. “Buat gue, generasi sekarang enggak berusaha bikin gap. Bisa dibilang, hanya satu pemain yang seperti itu. Tapi, menurut gue sikap dia enggak mewakili generasinya, jadi harusnya enggak ada masalah," tutur Iwa.

"Mungkin, ada yang salah kaprah tentang budaya diss di sana. Di luar negeri, diss itu ada sebabnya. Ini enggak ada masalah, tiba-tiba nge-diss."

"Ibaratkan begini," lanjutnya, menghisap rokok dalam-dalam. "Dulu, kalau lo tiba-tiba datang ke warung orang, dan lo menghina orang yang lagi nongkrong di sana, akan ada konsekuensinya, kan? Sekarang, lo bisa datang ke warung orang lain dan menghina tanpa ada konsekuensinya. Gimana lo mau belajar kalau lo enggak pernah merasakan konsekuensi? Gimana lo ngerasa bebas kalau tidak ada aturan? Lo baru bisa berpikir di luar kotak kalau lo sudah punya kotaknya dulu. Kalau lo enggak tahu konsekuensi, lo enggak akan belajar."

Namun, terlepas dari konflik kecil itu, ia melihat gejala menarik di scene hip hop kontemporer. "Banyak orang mulai beranjak lagi ke hip hop yang old school," ujarnya sembari terkekeh. "Cara delivery-nya mulai bertutur lagi, mulai bercerita lagi. Semacam ada perputaran lagi, ada keinginan dari pelaku hip hop sekarang untuk mengambil unsur old school di gaya kekinian mereka."

"Anak-anak di scene hip hop sekarang mau explore lagi, dan memang harusnya seperti itu," ujarnya. "Ketika gue menyukai sesuatu, gue pasti akan menelusuri akarnya. Itulah kenapa gue akhirnya suka musik blues. Gue suka rap duluan, tapi akarnya hip hop adalah blues." Ia mulai bercerita tentang playlist favoritnya, mulai dari Wu Tang Clan hingga artis-artis delta blues macam Robert Johnson.

"Menurut gue, orang yang mau berkarya di hip hop harus jadi tong sampah musik," lanjutnya. "Hip hop itu eklektik, kok. Spiritnya eklektik dan menggabungkan berbagai musik. Kalau ada anak hip hop yang enggak suka dengar musik lain, buat gue gimana caranya lo bisa buat sesuatu di karya lo?"

Pendekatan yang serupa ia gunakan dalam penulisan lirik. "Jadi ‘tong sampah’ buku akan mempermudah lo ketika lo deliver lirik," tuturnya. "Lo baca Thus Spake Zarathustra-nya Nietzsche, misalnya. Kata-kata yang dia pakai sadis, man! Gue sih bodo amat dengan manifesto yang dia tulis, tapi ada yang bisa gue adopsi dari cara dia deliver kata-katanya. Banyak juga lagu gue yang liriknya gue dapat dari puisi-puisinya Rumi, kok."

Lirik untuk Bebas, lanjutnya, ia tulis setelah membaca buku-buku filosofi Zen Dharma. “Gue lebih suka kalau lagu gue diartikan A oleh orang, padahal makna sebenarnya beda.” Ujarnya. "Gue mau orang bisa ngeh sama detail. Mereka jadi peka." Iwa terkekeh dan merapikan kausnya yang longgar.

Masih banyak kisah lain dan pengaruh tersembunyi di balik liriknya, ungkap Iwa, namun ia enggan mengungkap semuanya. "Saat ini, orang lagi antipati dengan hal-hal yang kayak begitu," keluhnya. "Ribet amat, sih? Pada akhirnya, semua sungai akan kembali ke laut, kok."

Tangis anaknya terdengar lagi, dan Iwa beranjak dari kursi. Saat kami kembali ke ruang tamu, ia tengah menggendong anaknya dan menyanyikan kidung ninabobo. Ia melihat kami melangkah masuk dengan ragu, dan tersenyum ramah. Ia tampak bahagia.(Raka Ibrahim)

Artikel ini sebelumnya tayang di Ruang Gramedia.com, 31 Januari 2017.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com