Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barat dan Timur di Dalam Setan Jawa

Kompas.com - 13/03/2017, 11:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorJodhi Yudono

Barat dan Timur memang tidak akan pernah bertemu. Keduanya adalah sudut berbeda yang menempati dimensi yang dipisahkan oleh jarak. Begitu pun dalam musik, barat dan timur tidak pernah benar-benar bisa bertemu meski dipaksakan sekuat daya. Yang ada, percampuran keduanya menjadi bunyian yang aneh. Apalagi, jika yang mencampur berupaya utuk menindas atau menonjolkan salah satu di antara keduanya.

Itulah sebabnya, musisi Rahayu Supanggah lebih senang berpijak pada kemantapan hati ketika komposisi gamelan karyanya bertegur sapa dengan orkes Simfoni Melbourne saat keduanya menjadi pemghidup film bisu "Setan Jawa" karya sutradara Garin Nugroho.

"Mungkin kami hanya saling senyum, saling sapa. Yang penting tidak ada yang kalah dan dikalahkan, tidak ada yang tersakiti dalam kolaborasi ini. Modal utamanya adalah rasa. Jika rasa sudah mantap, maka itulah yang kami pegang," ungkap Rahayu kepada saya di antara perbincangan makan malam di sebuah restoran di kota Melborne, 22 Februari 2017.

Bagi Supanggah, menghidupi film bisu bukanlah pekerjaan baru. Pekerjaan itu sama dengan saat dia menghidupi sebuah komposisi tari atau mengiringi pertunjukan wayang.

Iain sebagai komposer dan konduktor dari Melbourne Symphony yang menjadi pasangan kolaborasi Rahayu Supanggah mengaku memahami dunia budaya Jawa. "Saya belajar memahami tradisi musik Jawa, dalam hal ini gamelan. Tahun 80an saya sudah bersentuhan dengan gamelan di Surabaya, saat saya menjadi ilustrator musik film The Year of Living Dangerously yang dibintangi Mel Gibson. Terinakasih sdh diberi kesemoatan utk berkolaborasi," ungkap Iain.

The Year of Living Dangerously adalah film drama romantik buatan Australia yang menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta/Indonesia pada tahun 1965, sebelum hingga saat G30S. Karya layar lebar ini didasarkan pada novel Christopher Koch berjudul sama dan disutradarai oleh Peter Weir, berkewarganegaraan Australia, dan dirilis pada tahun 1982.

Film ini dibintangi oleh artis-artis terkenal seperti Mel Gibson (sebagai Guy Hamilton), Sigourney Weaver (sebagai Jill Bryant), dan Linda Hunt (sebagai Billy Kwan). Melalui perannya di film inilah Mel Gibson terangkat namanya di panggung sinema dunia. Aktris Linda Hunt, yang berperan sebagai kontak Guy Hamilton, dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun 1983. Ini adalah Piala Oscar pertama yang diberikan kepada pemain yang berperan alih kelamin karena Linda Hunt memerankan tokoh pria. Peran Sukarno dilakonkan oleh Mike Emperio.

Pembuatan film ini dilakukan di Filipina, setelah sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia tidak dikabulkan.

Setan Jawa adalah film hitam putih pertama karya Garin Nugroho, yang mulai pertunjukkannya di kancah internasionalpada pembukaan Asia-Pacific Triennial of Performing Arts, Melbourne.

Pementasan ini diiringi komposisi asli orkestra gamelan Indonesia karya Rahayu Supanggah, seorang musisi yang telah mempopulerkan musik gamelan Jawa ke dunia selama 40 tahun. Orkestra gamelan dibawakan secara langsung di depan layar dengan 20 pengrawit (sebutan untuk pemusik gamelan) yang berkolaborasi dengan Melbourne Symphony Orchestra, orkestra simfoni tertua di Australia, yang juga mengusung 20 pemain musik modern.

Film bisu yang pembuatannya didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini mengangkat mitologi Jawa dalam format film tari kontemporer yang terinspirasi dari film bisu hitam putih Nosferatu (1922) dan Metropolis (1927). Film ini berkisah tentang cinta dan tragedi kemanusiaan dengan setting awal abad ke-20, saat di mana perindustrian mulai lahir dan kemiskinan semakin meluas.

Meluasnya kemiskinan mengakibatkan munculnya cara-cara mistis untuk meraih kekayaan, termasuk Pesugihan Kandang Bubrah. Pesugihan ini adalah cara mendapatkan kekayaan dengan syarat sang manusia harus berubah menjadi tiang penyangga rumah saat ajalnya tiba.

“Setan Jawa sebagai film bisu hitam putih dengan iringan langsung gamelan serta dengan tema dunia mistik ini adalah hasil sebuah representasi dan kenangan masa kecil di rumah saya di Yogyakarta yang membawa masa lampau dan sekaligus masa kini. Setan Jawa yang fokus pada mistis Jawa ini merupakan fenomena kontemporer dan eksperimentasi bahasa visual, menggabungkan visual arts, teater, tari, fashion, hingga musik dalam ruang bebas interpretasi,” ungkap Garin Nugroho.

Begitulah, saat pertunjukan berlangsung, banyak hal tak terduga muncul menjadi sebuah kejutan. Gamelan dan musik modern tidak saling menjajah, tapi saling bertegur sapa dengan manis dan kadang malu-malu. Dan ini rupanya yang diinginkan oleh Garin selaku sutradara dan penggagas acara ini.

"Saya suka kejutan, momen tidak terduga. Saya suka proses ini. Kadang mereka saling mengikuti. Kadang orkestra menyimak, kadang memainkan melodi. Tapi semuanya surprise. Ketegangan, surprise dan ketidakdugaan memang saya sukai," ujar Garin di Melbourne, kepada Kompas.com.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com