Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sangkan Paraning" Soimah

Kompas.com - 26/03/2017, 16:00 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com -- Ana kidung rumekso ing wengi/Teguh hayu luputa ing lara/Luputa bilahi kabeh/Jin setan datan purun/Paneluhan tan ana wani/Miwah panggawe ala/Gunaning wong luput/Geni atemahan tirta/Maling adoh tan ana ngarah ing mami/Guna duduk pan sirna.

Soimah Pancawati tampak khusyuk. Suaranya melengking mistis dari petilasan Nyi Turah lalu menyusup di sela kabut. Dusun Wonorejo sedikit bergerimis petang itu.

Di kejauhan terdengar ringkik belalang. Rumpun bambu petung berdiri kokoh di halaman depan Oemah Petroek, di mana acara tapak tilas itu berlangsung.

Petikan kidung "Rumekso Ing Wengi" yang ditulis Sunan Kalijaga itu begitu penting bagi Soimah.

Tidak hanya ditembangkan sebagai permohonan keselamatan, dijauhkan dari segala godaan malapetaka, dan dihindarkan dari perbuatan orang-orang jahat, tetapi nyanyian itu dilantunkan di hadapan Nyi Turah.

Tahun 2007 di hadapan Nyi Turah pula, Soimah memulai perjalanannya sebagai seniman bersama kelompok Acappela Mataraman.

"Saya latihan di Oemah Petroek bersama Mas Pardiman dan kawan-kawan. Terus Romo (Sindhunata) bilang, Nyi Turah minta kamu nembang sebelum pulang." tutur Soimah.

Ketika menjelang pulang Soimah lupa permintaan itu.

"Kaki saya berat dan menangis sejadi-jadinya." kata pesinden kelahiran Pati, Jawa Tengah itu.

Sejak peristiwa itu, Soimah berjanji suatu hari akan menembang di Karang Klethak Oemah Petroek.

Nyi Turah secara fisik berbentuk patung perempuan Jawa yang ditatah dari batu muntahan Gunung Merapi.

Ia kemudian menjelma menjadi spirit kasih ibu, tempat memohon segala kebaikan dan kelebihan.

"Selama ini saya sudah diberi rezeki, sekarang seperti nginang karo ngila, mengunyah sirih sambil berkaca," ujar Soimah.

Jadilah perhelatan pada Kamis (23/3/2017) malam itu sebagai wahana tapak tilas bagi Soimah.

"Saya menghargai proses, di mana berasal dan kembali ke asal. Jadi, tidak ke mana-mana," katanya.

Ajaran hakikat sebagai orang Jawa yang melekat dalam filsafat "Sangkan Paraning Dumadi", dipegang teguh oleh pesinden serba bisa itu.

Ia telah menapaki kesejatian hidup. Hidup di dunia ini seperti mampir minum, ibarat burung terbang dari kurungan, jangan sampai keliru hinggap. Ibarat mereka yang pergi bertandang, suatu kali akan pulang, pulang ke asal mula.

Ajaran itulah yang membuat Soimah kembali bernyanyi bareng Accapella Mataraman, kemudian bergabung dengan Jogja Hiphop Foundation, dan bermain bersama Kethoprak Tjontong.

Pentas tapak tilas itu dilakukan di hadapan ratusan warga Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Pakem, Yogyakarta. Mereka menjadi saksi prosesi kembalinya Soimah ke pangkuan rakyat.

"Aku selama ini boleh dikata dikasi rezeki dari seni, jadi ingin aku kembalikan lagi pada seni dan orang-orang yang dulu ada di sekitarku," kata Soimah.

"Jula-juli"
Pada saat bernyanyi bersama Acappella Mataraman, Soimah memanggil Romo Sindhunata, pengampu kompleks budaya Oemah Petroek. Bahkan Soimah meminta Romo Sindhu turut bernyanyi.

Tanpa diduga Romo Sindhu sudah menyiapkan pantun berbahasa Jawa ala jawatimuran yang disebut sebagai jula-juli. Biasanya dilantunkan sebagai bagian dari pertunjukan ludruk.

Nyanyi dangdut lalu bengesan/roke lemir tuku nang rombengan/melok Hasoe mek nyatus seketan/Saiki sekali nyanyi ngeruk jutaan (Menyanyi dangdut lupa pakai lipstik/gaunnya berkilau beli di tukang baju bekas/ikut Hasoe cuma dapat seratus lima puluh ribuan/Sekarang nyanyi mengeruk jutaan).

Jula-juli ini tak lain dari kisah masa awal Soimah berkarier sebagai penyanyi kendurian dari kampung ke kampung di sekitar Yogyakarta. Ia "ditenteng" oleh pemain organ tunggal dan pelukis Hadi Soesanto (Hasoe).

"Dulu kalau dapat tiga ratus, aku cuma dikasi seratus lima puluh," ujar Soimah di atas panggung.

Pernyataan itu diikuti oleh tawanya yang ngakak, sebagaimana yang menjadi ciri khasnya selama ini.

Keterlibatan para pelukis pada masa awal karier Soimah juga dipertimbangkan. Oleh sebab itu, ia membeli delapan lukisan dari para pelukis yang mewujudkan dirinya dalam berbagai tema.

Para pelukis itu, di antaranya Yuswantoro Adi, Bambang Heras, Nasirun, Hadi Soesanto, Samuel Indratma, serta beberapa pelukis lain.

Sebagaimana watak Soimah, yang bisa ndagel secara spontan, ia membayar lukisan karya Nasirun di atas panggung.

"Selama ini sulit ketemu Mas Nasirun, jadi kalau boleh lukisan itu saya bawa pulang, saya kasi duit sekarang," kata Soimah.

Dengan setengah bingung Nasirun meminta pendapat kepada penonton apakah lukisan itu bisa diganti uang, jika dibawa pulang oleh Soimah. Serempak penonton menjawab, "bisaaa.."

Dengan sigap Soimah memberikan segepok uang dalam amplop kepada Nasirun, lalu berkata, "wong sugih kok masih perlu duit.."

Lalu ia tertawa lagi. Maksudnya, walau sudah kaya, Nasirun juga masih perlu uang.

Nasirun secara mengejutkan membuka amplop lalu menyerahkan selembar uang kepada penonton. Suasana menjadi hiruk-pikuk.

Kelompok-kelompok yang pentas malam itu merupakan kelompok asal mula, di mana Soimah pernah tergabung, baik menjadi pesinden maupun penyanyi dangdut.

Dalam ajaran sangkan paraning, seseorang yang telah mencapai puncak perjalanan (karier), sudah seharusnya mengingat asal-muasalnya. Semuanya dalam skema introspeksi diri. R

omo Sindhu mengatakan, sejak merintis karier di Jakarta, Soimah telah dianugerahi kepopuleran dan rezeki.

"Sudah sepantasnya ia mengingat kembali cikal-bakal, kebetulan itu di Oemah Petroek," kata Sindhunata.

"Saya siap, termasuk kalau nanti karier saya di dunia hiburan sudah berakhir. Saya siap kembali. ke Yogya," tekad Soimah.

Mungkin itulah caranya untuk tetap menjejak tanah, setelah mencapai ketinggian. Tidak lantas menjadi sombong, apalagi arogan, setelah mencapai semua cita-cita hidup.

Sebab, seperti kata Soimah, pada ujungnya semua mencari kebahagiaan: lahir dan batin. (PUTU FAJAR ARCANA, THOMAS PUDJO WIDIJANTO/FRANS SARTONO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Maret 2017, di halaman 24 dengan judul ""Sangkan Paraning" Soimah".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com